Anak Usia 13 Tahun di Cipayung Jaktim Bunuh Diri, Kriminolog Sebut karena Akumulasi Tekanan

Selasa 16 Sep 2025, 21:00 WIB
Ilustrasi seorang perempuan mengalami stres. (Sumber: PxHere)

Ilustrasi seorang perempuan mengalami stres. (Sumber: PxHere)

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Kasus bunuh diri yang menimpa seorang anak perempuan berusia 13 tahun di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, menggegerkan masyarakat.

Haniva Hasna, kriminolog yang fokus pada isu perempuan dan anak, mengatakan, bahwa peristiwa seperti ini, tidak bisa dipandang sebagai kejadian tunggal atau tanpa sebab.

“Kasus bunuh diri pada anak usia 13 tahun ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang saling terkait, baik dari sisi psikologis maupun sosial, yang membentuk lingkaran tekanan hingga seorang anak merasa tidak punya jalan keluar," ujar Haniva, saat dihubungi, Selasa, 16 September 2025.

Haniva menjelaskan, bahwa masa remaja awal, terutama usia 12 hingga 15 tahun, adalah periode yang sangat rawan secara psikologis.

Baca Juga: Siswi MTs di Cipayung Gantung Diri Diduga karena Korban Bullying, Pihak Sekolah Buka Suara

Perubahan hormon, emosi yang labil, serta tekanan dari lingkungan bisa sangat mempengaruhi kondisi mental anak. Ketika tidak ada tempat yang aman untuk mencurahkan isi hati, beban yang dirasakan bisa menumpuk hingga menimbulkan rasa putus asa.

“Remaja di usia ini sangat mudah terbawa suasana. Jika mereka merasa tidak dimengerti atau tidak punya siapa pun untuk mendengarkan, maka tekanan sekecil apa pun bisa jadi sangat besar bagi mereka,” jelas Haniva.

Haniva menilai, lingkungan sekolah juga sebagai salah satu faktor penting. Perundungan, baik secara langsung maupun melalui media sosial, bisa meninggalkan luka psikis yang mendalam.

Ketika sekolah tidak responsif atau tidak memiliki sistem pendukung seperti konselor atau guru pembimbing, maka korban bisa merasa semakin terisolasi.

“Kalau bullying terjadi dan tidak ditangani dengan cepat dan serius, anak akan merasa dibiarkan sendiri menghadapi semuanya. Ini sangat berbahaya. Apakah sekolah memiliki budaya empati? Apakah ada tempat yang aman bagi anak untuk bicara tanpa takut dihakimi?” ucap Haniva.

Dalam lingkup keluarga, Haniva menyoroti pentingnya komunikasi yang terbuka dan penuh empati. Banyak anak, menurutnya, tidak tahu bagaimana menyampaikan keluhan atau rasa sakitnya karena keluarga tidak menyediakan ruang yang cukup aman secara emosional.


Berita Terkait


News Update