Di sisi lain, Freeport telah berulang kali menyatakan komitmennya terhadap lingkungan melalui berbagai program mitigasi. Mulai dari revegetasi, reklamasi lahan, hingga penanaman mangrove.
Perusahaan juga mengklaim bahwa operasinya telah diaudit sesuai standar nasional dan internasional berdasarkan prinsip good mining practice.
Namun, klaim-klaim tersebut dinilai tidak sebanding dengan bukti kerusakan yang terjadi di lapangan. Banyak laporan dari lembaga lingkungan independen yang menunjukkan bahwa program pemulihan yang dilakukan tidak mampu mengembalikan kondisi alam yang telah rusak parah.
Sebuah Tren Baru: Seniman sebagai Agen Perubahan
Pilihan para musisi untuk mundur dari Pestapora 2025 mencerminkan tren global di mana seniman semakin sadar akan tanggung jawab etis mereka.
Mereka tidak hanya ingin menghibur, tetapi juga memastikan bahwa nama dan karya mereka tidak terkait dengan entitas yang bermasalah.
“Ini adalah bentuk solidaritas nyata. Seniman memiliki pengaruh dan platform untuk menyuarakan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan lingkungan,” ujar pengamat musik budaya, Ahmad Sastra.
Baca Juga: DMD Panggung Rezeki Hadir Lebih Spesial: Saatnya Jadi Bintang Dangdut Dadakan
Keputusan para musisi ini telah memicu debat publik yang luas. Di media sosial, tagar #PestaporaTanpaFreeport menjadi trending, dengan netizen membagi dua kubu: yang mendukung penuh aksi protes ini dan yang mempertanyakan mengapa isu ini baru diangkat sekarang.
Yang jelas, aksi ini telah membuka mata banyak pihak: bahwa di era sekarang, isu lingkungan dan etika tidak bisa lagi diabaikan, termasuk di dunia hiburan.
Perusahaan mana pun yang ingin terlibat dalam acara publik harus siap dengan transparansi dan pertanggungjawaban atas operasi mereka.
Pestapora 2025, yang seharusnya menjadi pesta musik, justru berubah menjadi panggung perlawanan. Dan para senimanlah yang menjadi suaranya.