Angelina Sondakh Ungkap Gaji DPR Rp104 Juta per Bulan, Mengapa Masih Dibilang Tak Cukup?

Kamis 04 Sep 2025, 07:20 WIB
Angelina Sondakh Sebut Pendapatan DPR Rp104 Juta Tetap Kurang untuk Hidup (Sumber: Instagram)

Angelina Sondakh Sebut Pendapatan DPR Rp104 Juta Tetap Kurang untuk Hidup (Sumber: Instagram)

Isu yang diangkat Angelina sebenarnya menyentuh akar persoalan demokrasi Indonesia mahalnya biaya politik.

Menurut berbagai kajian, biaya mencalonkan diri sebagai anggota DPR bisa mencapai miliaran rupiah, mulai dari logistik kampanye, iklan, hingga mobilisasi massa. Gaji bulanan Rp104 juta tentu tidak cukup untuk menutupi modal sebesar itu.

Situasi ini memunculkan dilema: politisi membutuhkan dana besar untuk terpilih, sementara rakyat menuntut mereka tetap bersih dari praktik korupsi.

Kunci Agar Publik Tidak Curiga

Angelina juga menyinggung perlunya transparansi penggunaan dana anggota DPR. Publik berhak tahu berapa banyak dana yang benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan politik pribadi.

Jika transparansi ditegakkan, masyarakat bisa menilai secara objektif apakah gaji DPR sepadan dengan kontribusi mereka terhadap pembangunan bangsa.

Perbandingan Internasional

Menariknya, fenomena gaji besar anggota parlemen tidak hanya terjadi di Indonesia.

  • Di Amerika Serikat, anggota Kongres menerima gaji sekitar USD 174 ribu per tahun atau setara Rp220 juta per bulan.
  • Di Inggris, anggota Parlemen digaji sekitar GBP 86 ribu per tahun, atau setara Rp140 juta per bulan.

Namun, perbedaan utama terletak pada transparansi dan akuntabilitas. Di negara-negara tersebut, penggunaan anggaran diawasi ketat oleh publik dan media, sehingga kepercayaan masyarakat relatif lebih tinggi.

Beban Sosial Seorang Wakil Rakyat

Terlepas dari jumlah gaji, ada beban sosial dan moral yang melekat pada jabatan anggota DPR. Seorang wakil rakyat dituntut untuk hadir dalam berbagai acara masyarakat, memberikan bantuan sosial, hingga ikut serta dalam kegiatan keagamaan dan budaya.

Dalam budaya politik Indonesia, seorang politisi kerap dianggap sebagai “tangan panjang negara” yang selalu siap membantu rakyat secara langsung. Ekspektasi ini menambah daftar panjang pengeluaran yang tidak tercatat dalam laporan resmi.

Politik Uang dan Risiko Korupsi

Mahalnya biaya politik seringkali menjadi pintu masuk bagi praktik politik uang. Banyak analis menilai, korupsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem pencalonan legislatif yang menuntut biaya besar.

Politisi yang sudah mengeluarkan modal besar cenderung mencari cara untuk “balik modal”, baik melalui donatur, sponsor, maupun dalam kasus buruk praktik ilegal.

Inilah titik rawan yang sering dikritik masyarakat. Gaji besar seharusnya cukup untuk hidup layak, namun biaya politik membuat sebagian politisi mencari jalan pintas.


Berita Terkait


undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Erosi Legitimasi

Kamis 04 Sep 2025, 06:55 WIB

News Update