Konflik Agraria di Lembang KBB, Warga Pagerwangi Sempat Diintimidasi untuk Kosongkan Lahan

Selasa 26 Agu 2025, 20:47 WIB
Warga menolak proses konstatering lahan yang dilakukan oleh tim juru sita dari PN Bale Bandung di kawasan Punclut, Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 26 Agustus 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Gatot Poedji Utomo)

Warga menolak proses konstatering lahan yang dilakukan oleh tim juru sita dari PN Bale Bandung di kawasan Punclut, Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 26 Agustus 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Gatot Poedji Utomo)

BANDUNG BARAT, POSKOTA.CO.ID - Upaya konstatering atau pencocokan data lahan di kawasan Punclut, Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Bandung Barat, berakhir ricuh. Warga menolak keras langkah juru sita Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung, Selasa, 26 Agustus 2025.

Warga menilai, rencana pencocokan lahan yang diklaim milik PT Dam Utama Sakti Prima itu, dianggap mendadak dan tanpa pemberitahuan resmi kepada pihak termohon.

"Dengan ini kami keberatan. Apalagi tidak ada surat pemberitahuan dari pengadilan. Parahnya lagi, kami tidak didampingi kuasa hukum," kata Ketua Pembina Masyarakat Penggarap, Dedi Herliadi, Selasa, 26 Agustus 2025.

Akibat penolakan tersebut, konstatering batal dilaksanakan. Bahkan, 20 warga langsung menandatangani surat permohonan penundaan eksekusi yang dilayangkan ke pengadilan.

Baca Juga: Konflik Agraria di Pagerwangi Lembang Bikin Petani Waswas, SPP KBB: Biarkan Rakyat yang Mengelolanya

Dedi mempertanyakan legalitas PT Dam Utama Sakti Prima yang mengeklaim lahan tersebut. Menurutnya, pengembang hanya memiliki surat oper garap tahun 2002. Bahkan, tidak ada sertifikat hak guna bangunan atau hak guna usaha dan hanya oper garap.

"Itu sangat lemah. Apalagi tanah yang disengketakan statusnya tanah negara, jelas tidak bisa dieksekusi," ujarnya.

Meski diakui perkara sengketa tanah itu sudah inkrah hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, warga menilai status tanah negara membuat putusan tersebut tidak bisa dieksekusi.

"Kami objektif saja. Dalam putusan masyarakat kalah tapi, ini tanah negara. Prinsip hukumnya tidak bisa dieksekusi," ungkapnya.

Lebih jauh, warga mengaku pernah mendapat intimidasi beberapa tahun lalu, agar mengosongkan lahan hingga dipaksa tanda tangan.

Baca Juga: Ratusan Warga Geruduk Balai Kota, Tuntut Reforma Agraria dan Perlindungan Hak Hidup


Berita Terkait


News Update