DEPOK, POSKOTA.CO.ID - Konflik sengketa lahan kembali memanas di Kota Depok. Kali ini, ahli waris SDN Utan Jaya mengambil langkah tegas dengan menggembok sekolah tersebut sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang mereka alami selama puluhan tahun.
Aksi penggembokan ini langsung berdampak pada kegiatan belajar mengajar (KBM), memaksa siswa-siswi SDN Utan Jaya yang berada di Kelurahan Pondok Jaya, Kecamatan Cipayung, terpaksa pulang dan melanjutkan pembelajaran dari rumah.
Ahli waris menuntut penyelesaian terkait penggunaan tanah seluas 1.920 meter persegi milik keluarga mereka yang dijadikan sekolah tanpa ganti rugi yang memadai.
Baca Juga: Ahli Waris Gembok SDN Utan Jaya Depok, Tuntut Hak Atas Tanah Sekolah, Ini Kronologinya
Tanah Warisan dan Janji yang Tak Terpenuhi
Muchtar H.N., salah satu ahli waris, mengungkapkan bahwa tanah seluas 1.920 meter persegi tersebut merupakan milik orang tuanya. Pada 1967, saat wilayah itu masih bagian dari Kabupaten Bogor, orang tuanya membangun sekolah dasar karena belum ada fasilitas pendidikan di sekitar lokasi.
“Ini kan surat jadi satu dengan rumah saya, seluruhnya cuma ada 1.920 meter. Jadi sangat luar biasa mereka, sampai PBB saya juga semakin kurus, tiap tahun kurang, tiap tahun kurang, tiap tahun kurang,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Rabu 7 Mei.
Namun, sejak 1990, sekolah tersebut ditempati pihak lain tanpa persetujuan keluarga. Muchtar menceritakan, ada janji bahwa empat anggota keluarganya akan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai kompensasi, tetapi hal itu tidak pernah terwujud.
“Mereka masuk (menempati sekolah) itu dapat perintah, bukan permohonan kami, bahkan mereka menjanjikan keluarga saya untuk diangkat jadi pejabat, empat orang akan dijadikan PNS ya, tetapi sampai sekarang tidak ada,” tegasnya.
Baca Juga: Sengketa Lahan SDN Utan Jaya Depok, Ahli Waris Ancam Tempuh Jalur Hukum
35 Tahun Tanpa Ganti Rugi, Ahli Waris Lakukan Penggembokan
Keluarga Muchtar mengaku tidak pernah menerima ganti rugi atas penggunaan tanah dan bangunan tersebut selama 35 tahun. Frustasi atas ketidakadilan ini mendorong mereka untuk mengambil tindakan dengan menggembok akses masuk sekolah.
“Digembok ini intinya kami sudah melakukan secara surat prosedur, tetapi tidak pernah dihargai. Keluarga kami juga sudah sering dipanggil ke Dinas Pendidikan, katanya mau dibayar,” jelasnya.