Reaksi warga sekitar Kali Rivaria ternyata beragam. Sebagian ada yang khawatir, terutama mengingat kedekatan lokasi dengan sekolah. Namun, ada pula warga yang justru menganggap fenomena ini sebagai hal biasa.
Seorang pemancing bernama Ali, misalnya, tetap melakukan aktivitas memancing meski tahu buaya sempat muncul. Baginya, buaya hanya sesekali terlihat, biasanya saat kali meluap akibat hujan deras.
“Iya kemarin ada buaya, tapi emang saya biasa mancing disini,” ungkapnya.
“Kalau ujan deras, kali meluap emang beberapa kali muncul (buaya),” tandasnya.
Hal ini mencerminkan bagaimana masyarakat berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi alam sekitar, meskipun risiko tetap ada.
Kemunculan buaya di Depok dapat dibaca dari sudut pandang sosial-budaya. Hewan ini sering diasosiasikan dengan mitos, kekuatan, bahkan simbol bahaya. Namun, di sisi lain, buaya juga menjadi pengingat bahwa ekosistem tidak bisa sepenuhnya dikendalikan manusia.
Dalam percakapan sehari-hari, sebagian warga mungkin menjadikan fenomena ini bahan cerita ringan atau rasa penasaran. Namun, bagi keluarga yang tinggal tepat di bantaran kali, munculnya buaya bisa memicu rasa waspada ekstra, terutama bagi anak-anak yang sering bermain di tepi sungai.
Artinya, fenomena ini tidak hanya soal satwa liar, tetapi juga menyangkut rasa aman, adaptasi, dan hubungan manusia dengan lingkungan perkotaan yang semakin kompleks.
Pentingnya Edukasi Satwa Liar
Kasus buaya di Depok juga menegaskan perlunya edukasi publik mengenai satwa liar. Bukan berarti masyarakat harus hidup dalam ketakutan, melainkan belajar memahami perilaku buaya dan cara menghadapinya.
Beberapa langkah edukatif yang bisa dilakukan:
- Memberikan sosialisasi kepada warga tentang langkah aman jika melihat buaya.
- Membekali sekolah-sekolah dengan prosedur tanggap darurat satwa liar.
- Mengajak komunitas lingkungan untuk melakukan monitoring rutin di area kali.
Dengan pendekatan ini, fenomena buaya tidak lagi sekadar viral di media sosial, tetapi menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran ekologis.