Kisah Dasman, Pengemudi Ojek di Gabus Bekasi yang Bertahan di Tengah Tekanan Ekonomi

Rabu 20 Agu 2025, 18:37 WIB
Dasman, setia menunggu penumpang di pangkalan ojek Kampung Gabus, Srimukti, Kabupaten Bekasi, Rabu, 20 Agustus 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Nurpini Aulia Rapika)

Dasman, setia menunggu penumpang di pangkalan ojek Kampung Gabus, Srimukti, Kabupaten Bekasi, Rabu, 20 Agustus 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Nurpini Aulia Rapika)

TAMBUN UTARA, POSKOTA.CO.ID - Di bawah terik matahari siang, deru knalpot motor terdengar bersahut-sahutan di pangkalan kecil dekat perempatan Kali Gabus, Srimukti, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.

Di antara para tukang ojek yang menunggu nasib, ada Dasman, 47 tahun, sosok pria paruh baya yang telah lima tahun terakhir menggantungkan hidupnya sebagai pengemudi ojek pangkalan.

Namun, profesi yang digelutinya bukan tanpa tantangan. Pasang surut rezeki telah ia rasakan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tertekan seperti sekarang dan gempuran pembangunan infrastruktur di wilayahnya.

“Saya jadi ojek pengkolan semenjak tahun 2020. Selama lima tahun ini pergerakan ekonominya kadang pasang surut. Yang namanya orang ngojek, kan tergantung rezeki. Kalau lagi rame, ya Alhamdulillah dapat. Kalau lagi sepi, ya kadang kosong,” ujar Dasman kepada Poskota, Rabu 20 Agustus 2025.

Baca Juga: Demonstrasi Besar-besaran di Pati, Pengamat Politik Nilai Bupati Pati Tidak Peka dan Tak Paham Berhadapan dengan Krisis Ekonomi

Dasman, setia menunggu penumpang di pangkalan ojek Kampung Gabus, Srimukti, Kabupaten Bekasi, Rabu, 20 Agustus 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Nurpini Aulia Rapika)

Bagi Dasman, masa pandemi Covid-19 menjadi awal mula keterpurukan. Dulu, ia bisa membawa hingga lima orang penumpang per hari dengan penghasilan lumayan.

Kini, setelah pandemi berlalu dan ditambah proyek pelebaran jalan yang menggusur angkutan umum, nasib ojek pangkalan kian terpinggirkan. Jumlah penumpang menurun tajam, bahkan hingga kini belum kembali normal.

“Sejak Covid itu ekonomi dan sewa ojek pengkolan mulai menurun. Bohong kalau saya bilang enggak dapat sama sekali, tapi paling cuma Rp20 ribu sehari. Jauh banget sama sebelum pandemi,” ungkapnya.

Dasman mengaku sejak pembongkaran bangunan liar dilakukan, jalur angkutan umum berubah. Angkot yang dulunya masuk hingga perempatan dekat Kali Gabus kini lebih memilih berhenti di depan pasar.

“Masalah pelebaran jalan ini emang bener berpengaruh bagi usaha kami, ojek pengkolan. Angkot jarang yang sampai sini. Jadi otomatis penumpang buat kami juga berkurang,” kata Dasman.

Meski berat, Dasman tidak sepenuhnya menggantungkan hidup pada ojek pengkolan. Di rumah, ia dan istrinya mengelola warung kecil-kecilan untuk sekadar menutupi kebutuhan harian.

Baca Juga: Banyak Anak Putus Sekolah karena Masalah Ekonomi, Pemprov Jakarta Diminta Lakukan Pendekatan ke Orang Tua

Namun, untuk mengisi waktu luang sekaligus mencari tambahan sekadar buat beli bensin, Dasman tetap setia nongkrong di pangkalan, menunggu penumpang yang tak kunjung datang.

“Ya, saya milih ojek pengkolan untuk ngisi kekosongan aja. Daripada bengong di rumah. Istilahnya buat cari bensin lah. Tapi kalau perhatian dari pemerintah ke ojek pengkolan kayaknya belum ada,” tuturnya.

Bagi Dasman dan rekan-rekannya, perhatian pemerintah terhadap nasib ojek pengkolan masih minim. Padahal, di tengah sulitnya ekonomi, mereka tetap berusaha bertahan dengan segala keterbatasan.

Dasman berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap mereka yang bertahan di jalanan, meski tak lagi jadi pilihan utama masyarakat di era digital.

“Ya penderitaannya itu kalau nggak ada sewa. Dari pagi sampai sore nggak narik sama sekali. Kalau dibilang cukup, ya jelas tidak mencukupi buat orang kecil kayak saya. Harapan kami, pemerintah bisa perhatiin orang-orang kayak kami ini,” jelasnya. (cr-3)


Berita Terkait


News Update