Baca Juga: Kopi Pagi: Tiada Henti Menunggu Realisasi
Maknanya hidup bermasyarakat – hidup dalam kebersamaan adalah sebuah kebutuhan. Ini sejatinya modal utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang jika dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah kekuatan besar mengisi kemerdekaan, demi mewujudkan cita – cita negeri kita.
Hanya saja realita tak dapat dipungkiri, kebersamaan pada masa perjuangan tentu sangatlah jauh berbeda dengan era sekarang. Begitu pun ketika kita dihadapkan kepada upaya membangun kebersamaan yang di dalamnya terdapat keberagaman. Beragam dalam tradisi,budaya, etnis dan agama. Sebagai bangsa yang majemuk dan multikultural, kadang dihadapkan pada realitas yang cukup rumit.
Bung Karno sendiri sejak awal kemerdekaan telah berpesan kepada pemuda, generasi penerus bangsa lewat pernyataannya “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”
Saat itu, boleh jadi kita bertanya – tanya bagaimana mengusir penjajah lebih mudah, ketimbang melawan bangsa sendiri? Tetapi pesan itu belakangan dapat kita cerna, apa makna yang terkandung di dalamnya.
Melawan bangsa sendiri bukan berarti berperang secara fisik sebagaimana mengusir penjajah.
Kalau pun dikatakan berperang adalah perang melawan ego pribadi dan intoleransi. Satu sikap yang jauh dari nilai - nilai dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Baca Juga: Kopi Pagi: Moralitas Politik
Era kini, kita menyaksikan keberagaman masih menjadi embrio pemicu terjadinya konflik, permusuhan dan kebencian satu sama lain. Meski konflik tersebut tidak semata berlatar belakang perbedaan, tetapi dapat menghambat terciptanya kebersamaan.
Jika sudah melebur dalam keluarga besar yang disebut bangsa, hendaknya disertai dengan menanggalkan ego pribadi dan kelompok. Kedua ego tadi ikut melebur ke dalam ego yang lebih besar lagi, yakni ego (kepentingan) nasional.
Kita tentu berkehendak hidup bersama bukan sebatas bersama dalam artian fisik, tetapi ada kebersamaan. Ini dibutuhkan sikap toleransi, saling peduli, saling berbagi sebagaimana sebuah keluarga, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Menahan diri untuk tidak terprovokasi. Singkirkan prasangka buruk dengan mencari- cari kesalahan orang lain. Tak ada lagi kepentingan pribadi dan kelompok karena semuanya sudah terakomodir dan melebur menjadi kepentingan bersama.