POSKOTA.CO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap ketentuan syarat pendidikan minimal calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu yang selama ini menetapkan jenjang pendidikan minimal setara SMA atau sederajat. Keputusan ini memunculkan kembali perdebatan publik terkait kualitas kepemimpinan dan peran pendidikan dalam dunia politik Indonesia.
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, disebutkan bahwa putusan MK ini didasarkan pada dua argumen utama.
"Gugatan ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap menutup ruang bagi siapa pun yang hanya lulusan SMA atau Madrasah Aliyah untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden," kata Adi, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Adi Prayitno Official pada Minggu, 20 Juli 2025.
Ia menambahkan bahwa secara historis, mayoritas calon presiden dan wakil presiden yang pernah bertarung dalam kontestasi politik nasional sudah memiliki gelar sarjana. "Sejak pemilihan langsung diberlakukan, rata-rata mereka yang maju adalah lulusan S1, meski tanpa diwajibkan secara hukum," lanjut Adi.
Baca Juga: Tarif Trump Jadi 19 Persen, Prabowo Subianto Belum Puas: Kalau Puas Ya Nol Persen
Namun demikian, menurutnya, dorongan agar syarat pendidikan dinaikkan menjadi minimal S1 didasarkan pada keyakinan sebagian masyarakat bahwa lulusan sarjana cenderung memiliki kapasitas dan kompetensi yang lebih baik. "Biasanya, lulusan S1 punya analisa, basis argumentasi, pengalaman organisasi, dan kapasitas akademik yang lebih teruji dibandingkan dengan lulusan SMA," jelas Adi.
Meski begitu, Adi mengakui bahwa tidak ada jaminan bahwa gelar akademik secara otomatis menjadikan seseorang lebih kompeten dalam politik. "Banyak juga lulusan S1 yang tidak punya kapasitas dan kompetensi. Tapi secara umum, jenjang pendidikan S1 lebih menunjukkan kualitas intelektual yang lebih matang," ungkapnya.
Dalam konteks politik Indonesia, Adi menyoroti bahwa tidak ada korelasi yang mutlak antara pendidikan tinggi dan keberhasilan dalam karier politik. "Banyak tokoh politik yang tidak aktif di kampus justru melesat karier politiknya, sedangkan para mantan aktivis kampus banyak yang tidak ke mana-mana," ujarnya.
Ia juga menyinggung pernyataan politisi Partai Golkar beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi tidak berhubungan langsung dengan keberhasilan dalam dunia politik. "Pernyataan itu sejalan dengan putusan MK yang menolak syarat S1 untuk calon presiden dan wakil presiden," kata Adi.
Baca Juga: Daftar 10 Wilayah dengan UMK Terendah Meski Upah Minimum Naik Era Prabowo
Putusan MK ini sekaligus mengonfirmasi bahwa jalur politik di Indonesia tetap terbuka luas bagi siapa pun yang memenuhi syarat administratif minimal, yakni ijazah SMA atau sederajat, dan memiliki dukungan politik serta elektabilitas yang memadai.
"Artinya, di Pemilu 2029 dan seterusnya, siapa pun dengan ijazah SMA, SMK, atau Madrasah Aliyah dapat mencalonkan diri asalkan didukung partai politik dan mendaftar ke KPU. Tidak perlu harus S1, S2, apalagi profesor,"