KOTA BEKASI, POSKOTA.CO.ID - Waktu terus berjalan, luka batin Daeng Andi Latif, 67 tahun, tak pernah sembuh. Sudah 16 tahun berlalu sejak putra tercintanya berpulang secara mengenaskan, tidak satu pun kepastian hukum ia dapatkan hingga hari ini.
Bagi Latif, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot di Kota Bekasi, peristiwa kelam itu masih membekas jelas di ingatannya. Malam terakhir anaknya berpamitan, ternyata menjadi awal dari kepergian selamanya.
“Awalnya dia bawa motor, terus dipulangin lagi. Kata neneknya, kenapa? Dia bilang takut kalau aku enggak pulang, nanti motor gimana. Itu kayak ada firasat dia bakal alami kejadian,” kata Latif dengan mata berkaca-kaca saat ditemui Poskota, Selasa, 15 Juli 2025.
Namun, sang anak tak pernah bercerita apa pun. Ia tetap supel di luar, ramah, tapi menyimpan kekhawatiran sendirian. Hal ini membuat Latif dan keluarga semakin terpukul karena anaknya, Daeng Andi Ade Irawan dikenal tidak memiliki masalah dengan siapapun.
Baca Juga: Anaknya Tewas 16 Tahun Lalu, Sopir Angkot di Bekasi Minta Bantuan Wali Kota
“Coba dia bilang ke saya, pasti saya di sampingnya. Tapi dia simpan sendiri masalahnya,” ujarnya.
Saat kabar duka datang, keluarga Latif hancur. Sang nenek langsung pingsan seharian setelah tahu cucunya ditemukan tak bernyawa. Latif mengatakan, tubuh dipenuhi banyak luka memar dan lebam, tetapi baju yang korban gunakan terakhir kali masih utuh.
“Mukanya kayak dipukul kayu. Badannya ada luka lebam semua. Tapi masih pakai baju waktu terakhir dia pergi,” ucap dia.
Latif mengatakan, terakhir kali sang anak berkomunikasi dengan keluarga pada Minggu, 15 November 2009, malam WIB. Malam itu, ia minta maaf ke banyak orang, termasuk teman-temannya dengan kata-kata yang menyiratkan kepergian.
“Dia bilang takut kalau-kalau pergi jauh. Itu katanya,” katanya menahan isak.
Sejak kejadian itu, rumah mereka bukan lagi tempat tinggal yang nyaman. Latif dan istrinya akhirnya pindah, karena tak sanggup terus dihantui bayang-bayang mendiang sang anak.
“Sekarang saya sudah tidak di rumah ini. Saya kalau lihat kamarnya pasti nangis terus. Dulu rumah ini cuma pakai pagar papan. Dan ini kamar anak saya. Saya enggak kuat kalau harus mengingatnya lagi," tuturnya sambil menatap kosong.
Sejak 2009, Latif rutin mendatangi kantor kepolisian untuk menanyakan perkembangan penyelidikan. Namun, harapan pupus saat mendengar kabar mengecewakan.
Baca Juga: Jawaban Mengapa Bekasi Bagian dari Jawa Barat, Padahal Sejarahnya Dekat dengan Jakarta
“Waktu saya tanya tahun 2015 lalu, katanya berkasnya hilang. Saya enggak percaya, Kan kalau data komputer nggak mungkin hilang,” kata dia dengan nada kecewa.
Ia kemudian merasa keinginannya untuk mengusut tuntas kematian anaknya tak lagi mendapat tempat. Bahkan, menurutnya, upaya menemui Wali Kota Bekasi pun kandas. karena prosedur yang menyulitkan.
“Saya sudah pernah ke Pemkot, tapi saya ditolak. Ini pas Zaman Pak Rahmat Efendi masih menjabat. Katanya harus bikin janji dulu. Ya sudah, akhirnya saya pulang. Merasa udah enggak ada yang bantu. Lemah kemauan saya sekarang,” ucapnya.
Hidup Latif berubah sejak hari itu. Ia kerap berjalan kaki tanpa tujuan. Bahkan, ia kerap mengenakan sandal jepit dan berjalan tanpa sadar ke luar kota, terkadang hingga Cianjur dan Cibuntu.
Baca Juga: TransJabodetabek Rute Bekasi-Dukuh Atas Jakpus Resmi Dibuka, Tarif Cuma Rp3.500
“Rasa kehilangan itu besar banget. Arah pikiran saya sudah ke mana-mana,” tuturnya.
Meski keluarga memintanya berikhlas, batinnya terus bergejolak. Ia masih berharap ada keadilan untuk anaknya.
“Kalau polisi sungguh-sungguh, harusnya mereka yang panggil kami, bukan kami yang mengejar-ngejar. Saya cuma ingin anak saya dapat keadilan. Itu saja,” ujar Latif dengan suara serak. (CR-3)