Klaim Takbirdha sebagai “anak pelayaran” mencerminkan narasi palsu yang berbahaya. Dalam konteks komunikasi publik, hal ini disebut sebagai bentuk status signaling usaha untuk menunjukkan status sosial demi mendapatkan perlakuan berbeda.
Namun, alih-alih menimbulkan simpati, narasi tersebut justru memperburuk situasi. Warganet yang memiliki keluarga atau kerabat di dunia pelayaran merasa tersinggung atas pernyataan tersebut.
Baca Juga: Cara Daftar SPMB Jakarta Tahap Akhir 2025 Hari Ini 7 Juli, Cek Jam Mulai Pendaftaran
Potret Ketimpangan Sosial di Era Digital
Insiden ini juga memperlihatkan ketimpangan sosial yang terlihat nyata di ruang digital. Dalam satu sisi, masyarakat mudah bereaksi terhadap arogansi dan kekerasan. Namun di sisi lain, publik sering menuntut bentuk klarifikasi yang lebih keras, bahkan cenderung mengarah pada perundungan digital.
Hal ini mengindikasikan pentingnya literasi digital dalam menyikapi kasus-kasus viral. Baik pelaku maupun publik perlu memahami batas antara kritik, klarifikasi, dan penghukuman sosial.
Kasus Takbirdha Tsalasiwi Wartyana adalah potret kecil dari kompleksitas sosial di era media sosial. Ia bukan hanya soal kekerasan terhadap driver ojol, tetapi juga tentang krisis identitas, manipulasi informasi, dan rendahnya penghargaan terhadap profesi pekerja informal.
Kita berharap peristiwa ini membuka mata semua pihak baik penyedia layanan transportasi online, masyarakat umum, maupun aparat hukum untuk mengambil langkah nyata mencegah kejadian serupa terulang kembali.