Reaksi publik tidak lepas dari kesan arogansi yang ditampilkan Takbirdha saat insiden berlangsung. Klaim profesinya sebagai “anak pelayaran” juga dianggap tidak relevan dan malah menyinggung banyak pihak yang bekerja di bidang maritim.
Terungkap Pekerjaan Asli Takbirdha
Spekulasi publik terkait latar belakang Takbirdha akhirnya dijawab oleh pihak lingkungan tempat tinggalnya. Ketua RT 01 Bantulan, Pak Efendi, dalam wawancara bersama media lokal, membantah bahwa Takbirdha adalah anak pelayaran.
“Setahu kami, dia bukan pelaut atau anak pelayaran. Dia bekerja di bidang pelayanan dan berada di luar Pulau Jawa,” ungkap Pak Efendi.
Pernyataan tersebut memperkuat dugaan bahwa klaim Takbirdha tentang latar belakang pelayarannya hanyalah upaya membangun citra yang tidak sesuai kenyataan. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru: mengapa ia merasa perlu menyampaikan informasi yang menyesatkan di tengah tindak kekerasan?
Konteks Sosial dan Psikologis Tindakan
Tindakan kekerasan Takbirdha mencerminkan gejala sosial yang lebih luas. Rasa superioritas terhadap profesi lain, arogansi karena identitas yang dianggap lebih “tinggi”, hingga ketidakmampuan mengelola emosi dalam situasi sehari-hari menjadi isu penting.
Menurut psikolog sosial dari Universitas Negeri Yogyakarta, perilaku semacam itu bisa dipicu oleh krisis identitas dan tekanan lingkungan:
“Banyak individu merasa harus menunjukkan status atau pengaruh untuk mendapatkan validasi sosial, apalagi di zaman media sosial seperti sekarang,” kata Dr. Retno Widyaningsih.
Imbas Hukum: Apakah Takbirdha Bisa Diproses?
Meski kejadian ini ramai di media sosial, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah ada tindak lanjut hukum terhadap Takbirdha? Hingga artikel ini ditulis, belum ada konfirmasi resmi dari kepolisian Sleman terkait laporan atau proses penyelidikan.
Namun, sejumlah LSM yang bergerak di bidang perlindungan pekerja informal mendesak agar kasus ini tidak berhenti di klarifikasi semata.
“Ini bukan sekadar insiden kecil. Ada unsur kekerasan fisik dan psikologis terhadap mitra kerja informal. Ini harus diusut,” ujar Mulyadi, Direktur LSM Solidaritas Ojol Bersatu.
Perlindungan untuk Driver Ojol Perlu Diperkuat
Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan yang dialami oleh driver ojol. Mereka kerap berada dalam posisi rentan, baik dari sisi sistem kerja tanpa jaminan hukum, maupun perlakuan pelanggan yang semena-mena.
Beberapa poin penting yang menjadi tuntutan publik:
- Aplikasi transportasi online perlu menyusun standar perlindungan hukum untuk mitranya.
- Pelanggan yang melakukan kekerasan harus mendapatkan sanksi tegas, termasuk pemblokiran akun.
- Perlu ada payung hukum formal untuk mengatur hubungan kerja dalam sistem gig economy.