Ilustrasi Salim Kancil, simbol perlawanan terhadap tambang ilegal. (Sumber: YouTube/Kilas Tokoh - Freepik)

Daerah

Kisah Salim Kancil: Dari Petani Biasa Menjadi Simbol Perlawanan Tambang Pasir Ilegal

Sabtu 05 Jul 2025, 20:52 WIB

POSKOTA.CO.ID - Namanya Salim Kancil, petani sederhana dari Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur. Ia bukan politisi, bukan pula aktivis nasional. Kehidupannya sehari-hari dihabiskan dengan menanam tanaman dan merawat sawah.

Namun sebuah keberanian untuk menolak tambang pasir ilegal yang merusak kampung halamannya membuat namanya tercatat selamanya dalam sejarah perlawanan rakyat kecil di Indonesia.

Salim Kancil lahir dan besar di desa tersebut. Tidak ada latar belakang pendidikan tinggi, tidak memiliki jabatan penting, bahkan tidak terhubung dengan organisasi lingkungan manapun.

Meski begitu ia memiliki satu hal yang jarang dimiliki banyak orang, yaitu kepedulian mendalam terhadap tanah tempat ia berpijak.

Baca Juga: Siapa Abang Poa? Menelisik Jejak Sejarah dan Kejayaan Pasar Tanah Abang Jakarta

Salim melihat sendiri bagaimana tambang pasir ilegal perlahan menggerogoti desanya. Air yang dulunya jernih menjadi keruh, sawah mati karena tanah longsor, dan garis pantai semakin terkikis.

Berbeda dari kebanyakan orang yang memilih diam karena takut, Salim justru memilih untuk bersuara. Ia mendokumentasikan kerusakan lingkungan, menulis laporan, menghadiri rapat desa, bahkan mendorong warga lain untuk berani bersuara.

Salim meyakini bahwa jika ada satu orang yang berani berdiri, akan ada yang lain yang ikut bangkit. Dia tidak pernah ingin menjadi pahlawan atau terkenal; tujuannya sederhana: agar tanah kelahirannya tetap bisa ditanami dan dinikmati oleh generasi berikutnya.

Tambang pasir ilegal telah lama beroperasi di Desa Selok Awar-Awar. Keuntungan dinikmati segelintir pihak, sementara kerusakan harus ditanggung oleh seluruh warga.

Baca Juga: Asal Usul Pasar di Jakarta Pakai Nama Hari, dari Pasar Minggu hingga Pasar Senen

Melihat ketidakadilan ini, Salim bersama warga lain membentuk forum penolakan tambang pasir ilegal. Mereka mengumpulkan data kerusakan, menulis surat ke pemerintah, dan bahkan mengangkat isu ini ke media.

Perlahan, suara mereka mulai didengar. Media nasional mulai meliput, dan perhatian publik pun tertuju ke Lumajang. Namun keberanian mereka tidak diterima dengan baik oleh pihak-pihak yang diuntungkan oleh tambang.

Teror mulai datang ke rumah Salim dan warga lain. Rumah dilempari batu, telepon gelap mengancam, dan orang-orang asing berkeliaran di sekitar rumah mereka.

Meskipun teror semakin intens, Salim tidak menyerah. Ia tetap hadir di rapat desa dan terus menulis laporan. Baginya, diam adalah bentuk kekalahan.

Baca Juga: Sejarah Palmerah Jakarta Barat, Dari Patok Merah Hingga Menjadi Simpul Transportasi Penting

Menjelang 26 September 2015, tekanan semakin menjadi-jadi. Beberapa warga menyebut nama-nama yang diduga terlibat, tetapi laporan mereka ke polisi tidak membuahkan hasil.

Ada yang ditolak, ada yang hanya dicatat tanpa tindakan. Salim dan keluarganya terus hidup dalam bayang-bayang ancaman. Bahkan beberapa warga yang ikut bergerak mengalami intimidasi. Ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang dijauhi oleh tokoh masyarakat karena takut.

Pagi hari, tanggal 26 September 2015, Salim bersiap mengikuti aksi damai ke kantor Bupati Lumajang. Namun, ia tidak pernah sampai.

Sekelompok orang datang, menyeretnya keluar dari rumah. Salim tidak melawan. Ia dibawa ke Balai Desa Selok Awar-Awar, lalu dianiaya secara brutal. Disetrum, dipukuli dengan kayu dan besi, hingga tubuhnya tak berdaya.

Saksi mata mengatakan Salim masih bernapas saat tubuhnya dilempar ke jalan, tetapi nyawanya tak terselamatkan. Yang membuat peristiwa ini semakin kelam, penganiayaan dilakukan di ruang publik, disaksikan banyak orang, seolah hukum tidak berlaku.

Beberapa pelaku memang akhirnya ditangkap dan diadili, tetapi sebagian lain hilang dari proses hukum. Kematian Salim menjadi pesan gelap: siapa pun yang berani melawan kepentingan besar akan dihabisi.

Kabar kematian Salim Kancil mengguncang Indonesia. Tagar #SalimKancil menjadi viral. Ribuan orang melakukan aksi solidaritas di berbagai kota, mulai dari mahasiswa, organisasi lingkungan, hingga masyarakat sipil. Mereka bersatu dalam satu suara untuk menuntut keadilan untuk Salim dan menghentikan tambang pasir ilegal.

Pemerintah pusat akhirnya turun tangan. Tambang pasir ilegal dihentikan sementara, dan beberapa pelaku dihukum. Namun banyak pihak menilai hukuman tersebut tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukan.

Selain itu, kerusakan lingkungan yang sudah terjadi tidak mudah diperbaiki. Sayangnya kematian Salim Kancil telah menorehkan warisan penting, keberanian untuk bersuara meski penuh risiko.

Nama Salim Kancil kini diabadikan dalam mural, buku, dan dokumenter. Kisahnya diceritakan di ruang kelas, seminar, hingga diskusi publik. Ia menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan, serta bukti bahwa keberanian bisa muncul dari siapa saja, bahkan dari seorang petani sederhana.

Kisah Salim mengingatkan kita bahwa perjuangan menegakkan keadilan tidak selalu berakhir indah, tetapi selalu memberi dampak. Karena setiap suara yang berani, sekecil apapun, bisa menyalakan harapan.

Tags:
kematian Salim Kancilaktivis lingkunganLumajangDesa Selok Awar-AwarTambang Pasir IlegalSalim Kancil

Muhammad Faiz Sultan

Reporter

Muhammad Faiz Sultan

Editor