Kini, ketika masa pensiun tinggal menghitung tahun, Somayati justru merasa damai. Ibu tiga orang anak ini menyambut status barunya sebagai ASN bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan syukur yang dalam. Baginya, pengakuan ini bukan soal status, tetapi soal penghargaan terhadap kesetiaan yang selama ini ia pelihara dalam diam.
“Walaupun saya sebentar lagi pensiun, saya senang bisa merasakan jadi ASN. Setidaknya, ada harapan untuk hari tua yang lebih tenang,” ujarnya, sembari mengusap pelipis dengan kerudungnya yang basah oleh keringat—dan mungkin air mata yang tertahan.
Ia pun berharap bisa menerima dana pensiun yang layak. Bukan untuk bermewah-mewah, tapi agar tak lagi merasa khawatir saat usia tak lagi produktif.
Baca Juga: Satu-satunya Harapan Suryadi hanya Dedi Mulyadi
“Semoga ada jaminan untuk masa depan. Paling tidak, bisa tenang di hari tua nanti,” harapnya.
Kisah Somayati adalah fragmen kecil dari mozaik besar tentang pengabdian para guru honorer di Indonesia. Mereka yang mengajar tanpa pamrih, bertahan bukan karena iming-iming materi, melainkan karena keyakinan bahwa setiap huruf yang mereka tanam di kepala anak-anak akan tumbuh menjadi masa depan bangsa.
Di tengah perubahan sistem pendidikan, kurikulum yang terus berubah arah, dan janji-janji reformasi yang kadang datang terlambat, Somayati adalah simbol bahwa kesetiaan masih menemukan tempatnya. Bahwa sabar dan tekun masih bisa menang di tengah kerasnya zaman.
Dan pagi itu, saat namanya dipanggil satu per satu dalam pelantikan, bukan hanya kartu ASN yang ia genggam. Tapi juga harga diri, penghargaan, dan rasa bahwa akhirnya... ia diakui.