BEKASI, POSKOTA.CO.ID - Di pagi yang belum sepenuhnya hangat, derap langkah kaki menyatu dengan desir angin yang menyapu pelataran Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Rabu, 2 Juli 2025. Di antara barisan wajah-wajah penuh harap dan seragam baru yang tersemat rapi, tampak seorang perempuan berkerudung hitam, mengenakan kacamata, melangkah pelan namun mantap. Di matanya ada cahaya yang tak bisa disembunyikan: cahaya syukur yang lahir dari perjuangan panjang dan tak terukur.
Namanya Somayati. Usianya 54 tahun. Seorang guru honorer di SD Negeri Harapan Jaya 6, Bekasi, yang akhirnya—setelah lebih dari dua dekade mendidik dalam senyap—diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Alhamdulillah... masa-masa menjadi tenaga honorer sudah saya lalui. Banyak suka dukanya, tapi saya syukuri semua. Hari ini saya merasa perjuangan itu akhirnya terbayar,” ucapnya, pelan namun penuh makna. Matanya berkaca-kaca, dan senyumnya merekah seperti fajar yang tak pernah lelah menunggu pagi.
Somayati adalah potret dari ribuan, bahkan jutaan guru honorer yang tersebar di pelosok negeri—mereka yang mengajar bukan karena gaji, melainkan karena cinta. Sejak pertama kali mengajar di awal tahun 2000-an, Somayati tak pernah sekalipun berpindah tugas. Ia mengabdikan hidupnya sepenuhnya di SD Negeri Harapan Jaya 6.
Baca Juga: Kisah Pedagang Pasar Kebon Kembang yang Terbakar Harapan
“Saya enggak pernah berpindah. Dari awal sampai sekarang tetap di tempat yang sama,” tuturnya. “Anak-anak datang dan pergi, tapi semangat saya tak berubah. Mereka seperti anak-anak saya sendiri.”
Upah yang kadang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, kondisi ruang kelas yang serba terbatas, hingga tekanan administratif yang makin berat, tak membuatnya menyerah. Ia tetap hadir tiap pagi, memandu tangan-tangan mungil belajar mengeja kata dan menulis harapan.
Namun, perjuangan Somayati tak hanya berada di balik papan tulis. Ia juga ikut menyuarakan nasib rekan-rekannya—mereka yang selama bertahun-tahun bekerja tanpa kepastian, hanya diganjar dengan janji yang terus tertunda.
“Dulu, teman saya sempat ditahan karena ikut demo. Kami waktu itu cuma ingin memperjuangkan hak kami. Bukan buat kaya, cuma ingin diakui,” kenangnya.
Baca Juga: Nurmaya dan Rumah Cinta di Samping Rel
Somayati berdiri bersama mereka. Bersuara di tengah hiruk-pikuk birokrasi. Bukan karena ingin tampil, tapi karena tahu bahwa suara dari ruang kelas harus sampai ke ruang kebijakan.