Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) hingga saat ini belum memberikan konfirmasi atau penolakan terkait rencana ini. Namun, kebijakan serupa sebenarnya pernah diusung pemerintah pada akhir 2018, yang mewajibkan operator e-commerce membagikan data penjual dan memastikan mereka membayar pajak.
Sayangnya, aturan itu dicabut tiga bulan kemudian akibat penolakan keras dari industri. Kini, dengan pendekatan yang lebih matang, pemerintah berharap kebijakan ini dapat berjalan lancar tanpa memicu gejolak serupa.
Baca Juga: Sri Mulyani Hapus Uang Makan Pensiunan PNS, Ini 3 Penggantinya yang Wajib Diketahui
Apa Dampaknya bagi Pelapak?
Bagi pedagang online, kebijakan ini berarti tambahan beban biaya, meski relatif kecil (0,5 persen). Namun, di sisi lain, ini juga menjadi bentuk pengakuan resmi terhadap usaha digital yang semakin masif.
Dengan aturan yang akan segera terbit, pelaku e-commerce dan UMKM digital perlu mempersiapkan diri menghadapi perubahan sistem perpajakan ini.
Kebijakan pajak 0,5 persen untuk pedagang e-commerce ini menjadi langkah strategis pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital.
Dengan aturan yang lebih terstruktur, diharapkan tercipta ekosistem perdagangan yang adil antara pelaku usaha online dan offline, sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak di sektor digital.
Namun, kesuksesan implementasi kebijakan ini akan sangat bergantung pada sosialisasi yang masif dan kolaborasi antara pemerintah, platform e-commerce, serta para pelaku UMKM.
Tantangan utamanya adalah memastikan kebijakan ini tidak memberatkan pelaku usaha kecil, sambil tetap mencapai tujuan pemerataan pembayaran pajak. Ke depan, semua pihak berharap aturan ini dapat berjalan efektif tanpa menimbulkan gejolak di industri e-commerce nasional.