Selain itu, penggunaan bahan kimia dalam proses penambangan juga tak terhindarkan menimbulkan polusi air.
"Pada akhirnya, polusi air ini akan kembali kepada manusia melalui rantai makanan laut akibat biota yang terpaksa hidup pada perairan berpolusi," ucapnya.
Baca Juga: Kronologi Kontroversi Tambang Nikel di Raja Ampat: Protes Greenpeace hingga Pencabutan Izin
Sorotan bahaya tambang tidak berhenti pada polusi air dan kerusakan habitat. Aktivitas ini juga memicu pencemaran suara dan cahaya, yang dapat memengaruhi perilaku spesies secara drastis.
Contohnya, bagi makhluk hidup tertentu seperti penyu, cahaya kuat dari lokasi tambang akan membuat mereka cenderung menjauhi daratan, sehingga tidak akan mendarat untuk bertelur. Begitu pula dengan hiu paus yang pola istirahatnya akan terganggu oleh kebisingan.
"Bisingnya penambangan akan menjadi polusi suara, terutama bagi hewan yang pendengarannya sangat sensitif seperti burung dan serangga," ujar Budi.
Ia memberikan sebuah contoh Raja Ampat sebagai "melting point untuk recovery biota saking alaminya." Kemudian ia menegaskan bahwa tempat seperti Raja Ampat sudah sangat langka di dunia dan seharuhnya dijaga oleh semua pihak.
Baca Juga: Mengulas Jejak Pemberi Izin Operasional Tambang PT GAG Nikel di Raja Ampat
"Tempat seperti ini sudah sangat langka di dunia dan sudah seharusnya semua pihak punya kesadaran untuk menjaga,” ucap Budi.
Raja Ampat: Permata Biodiversitas yang Harus Dilindungi, Bukan Ditambang
Seperti diketahui, wilayah seperti Raja Ampat adalah salah satu contoh ekosistem laut paling utuh di dunia. Dengan lebih dari 550 jenis karang dan 1.400 spesies ikan, kawasan ini berfungsi sebagai zona pemulihan alami bagi biota laut.
Jika Raja Ampat rusak akibat tambang, kerugiannya bukan hanya ekologis, tetapi juga ekonomi yang tak ternilai.
Budi berpendapat bahwa ekosistem yang terus dijaga sehat dan lestari justru dapat mendatangkan manfaat besar, terutama melalui pengembangan ekowisata berkelanjutan dan perikanan berkelanjutan.