POSKOTA.CO.ID - Keberadaan direksi BUMN kini menjadi sorotan. Setidaknya, terdapat dua hal yang dikritisi sejumlah kalangan. Pertama, kehidupan direksi BUMN yang dikelilingi ajudan, protokol dan staf ahli.
Seperti diberitakan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Kaukus Muda Anti Korupsi (DPP Kamaksi) Joko Priyoski mengingatkan BUMN adalah perusahaan milik rakyat bukan milik pribadi. Hanya Presiden yang pantas dikawal ajudan dan protokoler karena memang sosok Kepala Negara.
Kedua, penempatan pejabat negara sebagai komisaris BUMN. Ini menyangkut soal jabatan rangkap terkait pengangkatan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono sebagai komisaris utama PT Pupuk Indonesia.
Anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo mengungkapkan penempatan pejabat negara dalam jabatan strategis di badan usaha milik negara (BUMN), berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serius.
Baca Juga: Obrolan Warteg: Mati Suri, Dibubarkan
“Terus soal gaji direksi BUMN ikut dikritisi , apa tidak?,” kata bung Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi.
“Kita sudah sama – sama tahu gaji direksi BUMN itu sangat besar, lebih besar dari pejabat negara setingkat menteri,” kata Heri.
“Iya juga, kalau sudah tahu, apa yang mau dipersoalkan. Pengelola BUMN bergaji besar karena memberikan kontribusi besar juga kepada pendapatan negara,” kata Yudi.
“Bagi BUMN misalnya yang terus merugi, gimana? Apakah masih layak diberi tunjangan yang besar pula?,” tanya Heri.
“Itu bukan soal gaji yang besar, tetapi menyangkut kinerja. Jika kinerjanya buruk, apa masih perlu dipertahankan? Aku balik tanya,menurut kalian gimana?” kata Yudi.
“Logikanya begini saja. Kalau aku punya perusahaan terus merugi , ya direksinya diganti. Sayangnya aku nggak punya PT, jadi ini cuma perumpamaan saja,” jelas mas Bro.
“Ya, iyalah sudah gaji besar, tetapi tidak menguntungkan buat apa dipertahankan,” tambah Yudi.
Baca Juga: Obrolan Warteg: Jika Bersumpah Dengan Bahasa Inggris
“Nah, soal pejabat negara menjadi komisaris utama BUMN gimana? Bukankah di satu sisi ada bagusnya,” kata Heri.
“Dilihat dari sisi bisa demikian. Misalnya kebijakan soal perpupukan nasional bisa diselaraskan dengan kebijakan pertanian nasional, dalam upaya mewujudkan swasembada pangan. Misalnya soal alokasi pupuk, distribusi dan pemberian subsidi,” kata mas Bro.
“Artinya harus bisa memadukan dua kepentingan (perusahaan dan pemerintah) dengan satu tujuan semata untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. bukan kepentingan korporasi. Ini perlu aksi nyata, bukan retorika,” urai Heri.
“Memadukan dua kepentingan inilah yang ribet. Harus bisa memilih dan memilah mana bisnis perusahaan, mana kepentingan publik, inilah yang berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Ini pula titik krusialnya,”urai mas Bro.
“Kita berharap kepentingan rakyat di atas segalanya,” ujar Heri. (Joko Lestari)