POSKOTA.CO.ID – Kita sering mendengar ungkapan, "keluar dari zona nyamanmu jika ingin sukses."
Tapi kenyataannya, sudah berapa banyak dari kita yang mencoba, berjuang keras, membuat target besar, namun tetap saja kembali ke pola lama yang sama?
Mental health advocate, Gayathri Arvind, menyoroti bahwa kita sebenarnya sedang bertarung di medan yang salah.
“Masalahnya bukan karena kamu malas atau kurang disiplin,” ujarnya. “Masalahnya adalah kamu bahkan tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud dengan zona nyaman,” ujar Gayathri Arvind, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Abhasa - Mental Health pada Selasa, 17 Juni 2025.
Baca Juga: Ingin Hidup Bahagia? Ini 10 Tips Menjaga Kesehatan Mental Agar Tidak Mudah Stress
Zona Nyaman: Kebutuhan Biologis, Bukan Sekadar Pilihan
Zona nyaman bukanlah sekadar ruang nyaman secara emosional. Lebih dalam dari itu, menurut Gayathri, zona nyaman adalah bentuk kecanduan neurologis yang telah terbentuk dan tertanam di otak manusia sejak zaman purba.
“Otakmu tidak peduli pada kesuksesan, kebugaran, atau kekayaan. Tugasnya hanya satu, yakni menjaga kamu tetap hidup,” tegas Gayathri.
Di era pemburu-pengumpul, kehidupan manusia bertumpu pada prinsip bertahan hidup sehari-hari. Tidak ada kulkas, tidak ada aplikasi pesan antar. Karena itu, otak berevolusi untuk mencintai kenyamanan, keteraturan, dan hal-hal yang familiar.
Mengambil risiko sembarangan bisa berarti kematian. Maka dari itu, otak mulai memberi hadiah atas segala keputusan yang mengarah pada rasa aman, seperti duduk dekat api unggun, tetap bersama kelompok, makan kapan pun ada makanan. Setiap keputusan aman ini menghasilkan dopamin, zat kimia yang memunculkan rasa senang dan membuat kita mengulanginya.
Baca Juga: Bahaya Emosi Amarah dan Egoisme bagi Kesehatan Mental, Begini Penjelasan Pakar
Kecanduan Neurologis terhadap Kenyamanan
Seiring waktu, otak tak hanya menyukai kenyamanan, tapi secara fisik mengatur ulang dirinya untuk terus memilih kenyamanan sebagai default. “Setiap kebiasaan yang diulang memperkuat jalur saraf di otak,” jelas Gayathri.
Semakin sering kita memilih zona nyaman, jalur saraf itu makin kuat. Sebaliknya, semakin kita menghindari ketidaknyamanan, kemampuan otak untuk beradaptasi, mengambil risiko, dan bertindak berani akan melemah.
“Kenyamanan tidak lagi menjadi pilihan, tapi menjadi pengaturan default yang sulit diubah,” ungkap Gayathri.
Inilah sebabnya perubahan terasa berat. Otak kita menolak perubahan drastis. Zona nyaman bukan musuh, melainkan sistem pertahanan purba yang masih aktif hingga hari ini.
Jangan Lawan Zona Nyaman, tapi Kembangkan Secara Bertahap
Kesalahan umum yang dilakukan banyak orang adalah mencoba menghancurkan zona nyaman secara ekstrem. Mereka langsung membuat target besar, memaksa diri keras dalam waktu singkat, dan akhirnya gagal.
“Pikirkan otakmu seperti karet gelang. Jika ditarik terlalu cepat, ia akan kembali ke posisi awal,” ujar Gayathri.
Solusinya? Perluas zona nyamanmu secara perlahan. Jika kamu takut berbicara di depan umum, mulailah dengan satu kalimat dalam rapat. Jika kamu ingin bangun jam 5 pagi, mulailah dari 7:45, lalu 7:30, dan seterusnya.
Perkenalkan ketidaknyamanan kecil secara bertahap pada otakmu. Fokuslah pada pertumbuhan 1 persen setiap hari. Tidak perlu langsung 50 persen atau 100 persen.
Baca Juga: 5 Tanda Anda Memerlukan Batasan Personal dengan Orang Lain untuk Menjaga Kesehatan Mental
Kemenangan Kecil yang Berujung pada Perubahan Besar
Ketika kamu membiarkan perubahan kecil tumbuh perlahan, otak tidak akan melawan.
Perubahan ini akan terakumulasi. Suatu hari kamu akan menyadari, apa yang dulu menakutkan kini terasa biasa saja. Dan hal yang dulu mustahil kini menjadi bagian dari keseharianmu.
“Kamu tidak menghancurkan zona nyaman. Kamu tumbuh keluar darinya,” tutup Gayathri Arvind.