Kisah Nestapa Cambang, Lansia yang Tinggal di Gubuk Reyot Bersama Anak Kecil di Babelan Bekasi

Selasa 17 Jun 2025, 20:36 WIB
Cambang, 78 tahun, lansia yang tinggal di gubuk reyot tak layak huni bersama anaknya yang baru berusia 8 tahun. (Sumber: POSKOTA | Foto: Nurpini Aulia Rapika)

Cambang, 78 tahun, lansia yang tinggal di gubuk reyot tak layak huni bersama anaknya yang baru berusia 8 tahun. (Sumber: POSKOTA | Foto: Nurpini Aulia Rapika)

BABELAN, POSKOTA.CO.ID - Bau tak sedap menyergap hidung begitu memasuki halaman rumah Cambang, lansia tua renta berusia 78 tahun, yang tinggal di gubuk reyot.

Rumah Cambang berlokasi di Jalan Raya Babelan, Gang Koramil, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.

Tumpukan sampah, kandang ayam, dan genangan air menjadi pemandangan sehari-hari di sudut rumah reyot berukuran 4x4 meter ini.

Di tempat yang ia sebut sebagai rumah itu, Cambang bertahan hidup bersama anaknya yang bungsu berusia 8 tahun.

Bangunannya jauh dari kata layak. Lantainya masih tanah. Atapnya bocor di sana-sini, membuat setiap hujan deras menjadi mimpi buruk bagi mereka.

Baca Juga: Dua dari Tiga Warga Indonesia Hidup di Bawah Garis Kemiskinan, Pengamat Politik: Kegagalan Kebijakan Satu Dekade Pemerintahan Jokowi

Bahkan, dinding rumahnya hanya terbuat dari bilah bambu dan anyaman rapuh yang nyaris ambruk dimakan usia.

"Atapnya banyak yang bocor. Jadi kalau hujan, ya basah semua. Kadang ngga bisa tidur, karena airnya jatuh ke bale (tempat tidur)," ungkap Cambang saat ditemui Poskota, Selasa 17 Juni 2025.

Di bale usang tanpa kasur empuk itulah, dia dan anaknya yang masih berusia 8 tahun merebahkan badan setiap malam. Selimut pun hanya sehelai kain lusuh.

Tepat di samping tempat tidur mereka, ayam-ayam peliharaan berkeliaran, menambah aroma tak sedap yang memenuhi ruangan.

Sudah sembilan tahun Cambang tinggal di lahan milik orang lain tanpa kepastian status. Tidak ada bangunan yang diplester semen, tidak ada listrik memadai, air sumur pun keruh dan berbau.

Kamar mandi yang seadanya dikhawatirkan jadi sumber penyakit bagi Cambang dan anaknya.

"Saya takut sekali rumah ini roboh. Mau tidur pun rasanya waswas. Kalau sampai ambruk tiba-tiba, saya mau tinggal di mana. Kasihan anak saya juga masih kecil," ucap Cambang.

Meski begitu, bantuan dari pemerintah nyaris tak pernah menyentuh rumah reyotnya. Cambang mengaku saat ini dirinya hanya mendapatkan bantuan sembako dari program BPNT yang datang tiga bulan sekali.

Sedangkan program bedah rumah atau bantuan sekolah bagi anaknya tak kunjung datang.

Istri Cambang diketahui telah meninggal setahun lalu. Hal itu menyisakan luka yang masih membekas di hatinya.

Sementara anaknya yang lain, Mutmainah (16), terpaksa tinggal bersama kakak tertua di tempat terpisah yang tak jauh dari gubuk yang ditinggali Cambang.

Sering Nunggak SPP

Saat ini Mutmainah masih sekolah dan duduk di bangku kelas 2 SMK swasta dengan biaya sekolah yang kerap membuat Cambang kebingungan.

"Kalau anak mau ulangan suka dimintain uang SPP. Saya seringnya belum punya uang, jadi harus ngumpulin dari jual rongsok. Kasihan, kadang dia ngga tega liat bapaknya susah begini," kata Cambang.

Baca Juga: Menko Cak Imin Sebut Judol Sumber Kemiskinan Baru

Ia ingin anak perempuannya sukses, bisa mengangkat derajat keluarga kecil mereka. Namun, kenyataan seringkali tak sejalan dengan harapan.

Uang sekolah kerap menunggak, dan biaya ujian sering jadi masalah. Cambang hanya bisa pasrah, berharap keajaiban datang suatu hari.

Setiap hari, tubuh ringkih Cambang masih dipaksa mengais rezeki dengan mengumpulkan rongsok.

Dari hasil memulung barang bekas, paling banyak ia hanya membawa pulang Rp150 ribu seminggu. Itu pun harus cukup untuk makan berdua, ongkos sekolah anak, hingga kebutuhan hidup lainnya.

"Dulu saya pernah jadi tukang bangunan. Tapi sekarang udah ngga kuat. Kepala saya sering pusing, kaki suka gemetar. Jadi saya cuma bisa kerja ringan di rumah," ujarnya seraya memegang kepalanya yang terasa berat karena penyakit vertigo yang dideritanya.

Cambang sadar, usianya tak lagi muda. Badannya rapuh, dan tenaganya kian menipis. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah bagaimana masa depan anak-anaknya.

"Syukur-syukur bisa dapat bantuan dari pemerintah. Paling tidak untuk tempat tinggal," ungkap Cambang. (CR-3)


Berita Terkait


News Update