Baca Juga: Kenapa Pemerintah Resmi Cabut Izin Tambang Empat Perusahaan di Raja Ampat? Ini Alasannya
3 Alasan Pencabutan Izin Tambang
Bahlil menegaskan bahwa keputusan ini bukan semata-mata karena tekanan publik, melainkan berdasarkan tiga faktor utama:
- Pelanggaran Lingkungan Serius
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq melaporkan bahwa keempat perusahaan tersebut terbukti merusak ekosistem. Hasil pemeriksaan lapangan oleh tim gabungan memperkuat temuan ini.
“Pertama, secara lingkungan atas apa yang disampaikan oleh Menteri LH kepada kami itu melanggar. Yang kedua adalah kita juga turun ngecek di lapangan, kawasan-kawasan ini menurut kami harus kita lindungi, dengan tetap memperhatikan biota laut dan konservasi,” jelas Bahlil.
- Tumpang Tindih dengan Kawasan Geopark
Sebagian konsesi tambang ternyata masuk dalam wilayah Geopark Raja Ampat, yang seharusnya dilindungi karena nilai ekologis dan geologisnya yang tinggi.
“Kawasan ini menurut kami harus dilindungi dengan melihat kelestarian biota laut. Izin-izin ini diberikan sebelum ada geopark. Sementara itu, Presiden ingin menjadikan Raja Ampat jadi wisata dunia,” ujar Bahlil.
- Aspirasi Masyarakat dan Pemerintah Daerah
Pemerintah juga mempertimbangkan masukan dari tokoh masyarakat dan pemda setempat yang menolak kehadiran tambang di kawasan sensitif ini.
“Dan ketiga keputusan ratas dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan juga adalah melihat dari tokoh-tokoh masyarakat yang saya kunjungi,” tambah Bahlil.
PT Gag Nikel Diizinkan Beroperasi dengan Syarat Ketat
PT Gag Nikel tetap boleh berproduksi karena dinilai taat aturan lingkungan, memiliki Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang valid, dan telah mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025. Selain itu, lokasi tambangnya berada 42 km dari kawasan Geopark dan lebih dekat ke Maluku Utara.
Menurut Bahlil, dari total konsesi 13.136 hektare, PT Gag Nikel baru membuka 260 hektare, dengan lebih dari 130 hektare telah direklamasi. “Alhamdulillah sesuai dengan Amdal. Sehingga karena itu juga adalah bagian dari aset negara selama kita awasi betul,” ujarnya.
Dampak Ekologis Dinilai Lebih Besar daripada Manfaat Ekonomi
Fahmy Radhi, Dosen Ekonomi Energi UGM, mengkritik aktivitas tambang di Raja Ampat. Ia menilai kerusakan ekosistem jauh lebih mahal dibandingkan keuntungan ekonomi.
“Kalau misal kita gunakan cost and benefit analysis, itu cost-nya jauh lebih besar,” tegas Fahmy. Ia membandingkan dengan kasus korupsi PT Timah di Bangka Belitung yang merugikan negara Rp 271 triliun akibat kerusakan lingkungan.