Brigjen Kristomei Sianturi, Kepala Pusat Penerangan TNI, menyatakan bahwa warga sering mengambil serpihan logam seperti tembaga atau besi dari bekas granat dan mortir untuk dijual.
“Mungkin ada ledakan susulan dari detonator yang belum meledak sepenuhnya. Saat warga mendekat, terjadilah tragedi ini,” kata Kristomei.
Camat Cibalong, Dianavia Faizal, mengonfirmasi bahwa pemusnahan amunisi di lokasi tersebut sudah rutin dilakukan. Warga juga diklaim telah mendapat pemberitahuan sebelumnya. Namun, pertanyaan muncul: apakah sosialisasi risiko dan pengamanan perimeter sudah memadai?
Pertanyakan Standar Pengamanan
Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyoroti kemungkinan kelalaian protokol.
“Pemusnahan amunisi harusnya dilakukan di lokasi steril dengan pengawasan ketat. Adanya warga sipil di area tersebut menunjukkan kegagalan dalam pengamanan atau sosialisasi,” tegas Fahmi.
Ia juga mempertanyakan mengapa TNI tidak membersihkan sisa bahan peledak sebelum membuka akses ke warga.
TNI Berjanji Investigasi, Keluarga Korban Menuntut Kejelasan
Jenazah korban telah dibawa ke RSUD Pameungpeuk untuk identifikasi. TNI menyatakan akan menggelar penyelidikan mendalam, termasuk mengevaluasi prosedur pemusnahan amunisi di masa depan.
Sementara itu, keluarga korban menuntut transparansi. “Ini bukan kali pertama ada ledakan di sini, tapi kenapa masih ada korban warga?” tanya seorang kerabat korban yang enggan disebutkan namanya.
Insiden ini menggarisbawahi dua masalah krusial:
- Efektivitas pengamanan TNI: Apakah pemusnahan amunisi dilakukan dengan jarak aman yang memadai?
- Faktor ekonomi warga: Tradisi mengumpulkan logam bekas menunjukkan minimnya alternatif mata pencaharian, sehingga warga nekat mengambil risiko.
Pemerintah daerah dan TNI didesak untuk meninjau ulang lokasi pemusnahan amunisi serta memberikan kompensasi dan edukasi yang jelas kepada masyarakat.