POSKOTA.CO.ID - Pinjaman online atau pinjol merupakan salah satu inovasi fintech yang berkembang pesat di Indonesia.
Akses mudah dan cepat menjadi daya tarik utama bagi masyarakat, terutama dalam memenuhi kebutuhan mendesak. Namun, kepraktisan ini membawa dampak buruk berupa ketergantungan masyarakat terhadap pinjaman digital.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa pada Maret 2025, nominal outstanding pembiayaan Peer to Peer (P2P) Lending mencapai Rp 80,02 triliun, meningkat 28,72 persen dibandingkan periode sebelumnya.
Meskipun demikian, tingkat kredit macet untuk pinjol tercatat relatif stabil pada angka 2,77 persen, sedikit turun dibandingkan Februari yang mencapai 2,78 persen.
Meskipun begitu, fenomena ini tetap menjadi perhatian serius karena jumlah utang masyarakat yang terus meningkat.
Baca Juga: Rocky Gerung Soroti Kasus Mahasiswi ITB: Kebebasan Berekspresi Jangan Dibungkam!
Tekanan Ekonomi Rumah Tangga dan Kurangnya Literasi Keuangan
Wakil Ketua Komisi XI DPR Hanif Dakhiri mengungkapkan bahwa fenomena meningkatnya utang masyarakat melalui pinjol merupakan alarm serius yang menunjukkan semakin beratnya tekanan ekonomi rumah tangga.
Selain itu, rendahnya literasi keuangan turut memperburuk situasi ini. Banyak masyarakat yang memilih menggunakan pinjol untuk memenuhi konsumsi jangka pendek, alih-alih untuk kebutuhan produktif.
"Kami mendesak OJK untuk tidak hanya mempublikasikan daftar pinjol ilegal, tetapi juga memperketat pengawasan terhadap model bisnis pinjol, transparansi bunga, serta mekanisme penagihan yang adil," kata Hanif.
Beliau menegaskan bahwa solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengedepankan regulasi yang lebih protektif, serta integrasi data pinjol dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.
Peningkatan Pengawasan dan Literasi Keuangan
Hanif menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap industri pinjol, baik yang legal maupun ilegal.