POSKOTA.CO.ID – Seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) ditangkap aparat kepolisian setelah mengunggah meme bergambar Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang tampak berciuman.
Meme tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara.
Penangkapan ini memicu perdebatan publik terkait batas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran hukum. Jurnalis senior Hersubeno Arief dan pengamat politik Rocky Gerung dalam sebuah diskusi menyoroti wacana politik dan artistik dari kasus tersebut.
“Seorang mahasiswi di ITB ini karena membuat meme Jokowi dan Prabowo sedang berciuman, ditangkap oleh polisi. Dia disangka melanggar Undang-Undang ITE dan ancaman hukumannya sangat berat, sampai 12 tahun,” ujar Hersubeno Arief pada Sabtu, 11 Mei 2025, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Rocky Gerung Official.
Baca Juga: Mungkinkah Wapres Gibran Rakabuming Raka Dimakzulkan? Begini Kata Rocky Gerung
Rocky Gerung menilai bahwa perkara ini masuk ke dalam ranah abu-abu secara hukum dan etika.
“Tentu kasus ini akan jadi kasus yang agak unik, atau bahkan jadi kasus yang abu-abu. Apakah ini pidana? Apakah ini kebebasan berekspresi? Apakah ini karya seni instalasi? Mengingat sang mahasiswi adalah mahasiswa jurusan desain seni rupa ITB,” ungkap Rocky.
Menurutnya, dalam era serbadigital yang penuh simbol dan interpretasi, ekspresi dalam bentuk meme tidak bisa serta-merta dipidanakan.
“Kita hidup sekarang di dunia yang lain. Dunia yang sifatnya semiotik, dunia yang sifatnya hermeneutik. Apakah itu secara fisik harus dinyatakan sebagai perbuatan yang dimaksudkan oleh undang-undang? Bagaimana kalau itu semacam abstraksi untuk memancing atau menimbulkan imajinasi yang sekadar lucu?” lanjut Rocky.
Baca Juga: Gugatan Ijazah Jokowi dan Pemakzulan Gibran Terus Memanas, Rocky Gerung: Tak Bisa Dicegah Lagi!
Rocky juga menekankan bahwa kasus ini berpotensi menjadi preseden berbahaya yang bisa membungkam kreativitas dan kebebasan berpikir mahasiswa.
“Kalau kasus ini masuk ke pengadilan, ada berapa banyak meme sejenis dengan tafsir yang bermacam-macam juga harus diadili? Atau ada berapa banyak produk baru mengikuti meme itu, misalnya?” ujarnya.
Jurnalis Hersubeno Arief menambahkan bahwa sejumlah pihak, termasuk Amnesty International dan Kepala Kantor Komunikasi Presiden, menyarankan agar polisi membebaskan mahasiswi tersebut.
“Karena kalau dia dijerat, ini akan banyak kasus serupa,” kata Hersubeno Arief.
Rocky menilai bahwa semangat mahasiswa yang kerap mengekspresikan diri lewat humor dan satir tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
“Pak Jokowi juga berkali-kali dibuatkan meme. Pak Prabowo juga dibuatkan meme. Jadi kegembiraan mahasiswa adalah mengolok-olok, memang. Nah, mengolok-olok itu mesti ditafsirkan oleh pakar psikologi. Apakah mengolok-olok itu pidana?” ujarnya.
Ia menyimpulkan bahwa perkara ini akan menjadi cause célèbre atau kasus yang disorot luas oleh publik, karena menyangkut isu fundamenta, kebebasan berekspresi dan batas tafsir hukum terhadap karya digital.
“Ini permulaan yang membuka kembali wacana perdebatan antara mana yang politik, mana yang estetik,” tutup Rocky.