Bahkan, saat Dedi Mulyadi melakukan kunjungan langsung ke salah satu barak pembinaan yang bekerja sama dengan Kostrad, ia menyebut bahwa para siswa terlihat antusias dan gembira mengikuti program.
“Mereka gembira banget,” ujar KDM (sapaan akrab Dedi Mulyadi) saat diwawancarai media lokal.
Respons Publik: Antara Harapan dan Kekhawatiran
Program ini langsung memicu perdebatan luas di tengah masyarakat. Kalangan orang tua yang resah dengan perilaku anak-anak mereka banyak yang menyambut positif.
Mereka menganggap bahwa pendidikan karakter di barak militer bisa menjadi “wake-up call” bagi anak-anak yang mulai kehilangan arah.
Namun di sisi lain, berbagai lembaga perlindungan anak dan psikolog pendidikan mengingatkan agar pendekatan ini tidak melanggar hak anak atau menimbulkan trauma psikologis.
Mereka menilai bahwa pendekatan pendidikan harus tetap mengedepankan prinsip partisipatif dan rehabilitatif, bukan semata koersif.
Polemik: Kritik Terhadap Keterlibatan Militer dalam Pendidikan Sipil
Keterlibatan institusi militer, khususnya Kostrad, dalam program ini turut memantik diskusi lanjutan mengenai peran militer dalam dunia pendidikan.
Sejumlah pengamat menyarankan evaluasi berkala atas efektivitas dan dampak program, serta perlunya batasan yang jelas antara pembinaan karakter dan praktik militerisasi pendidikan.
Namun KDM menegaskan bahwa program ini tidak bertujuan untuk menjadikan siswa sebagai tentara, melainkan membentuk kepribadian yang tangguh dan bertanggung jawab.
Dimensi Ketahanan Sosial dan Nasional
Dalam pandangan Dedi Mulyadi, kenakalan remaja tidak hanya berdampak pada individu atau lingkungan sekolah, tetapi telah menyentuh ranah sosial yang lebih luas.
Ia menilai bahwa fenomena ini berpotensi melemahkan ketahanan sosial dan nasional jika tidak ditangani secara sistemik.
Program ini, menurutnya, adalah salah satu bentuk intervensi negara untuk menyelamatkan generasi muda dari kehancuran moral dan disorientasi nilai.