Data terbaru mencatat bahwa hingga Januari 2025, total nilai gagal bayar pindar yang telah menunggak selama lebih dari 90 hari mencapai Rp1,94 triliun.
Angka ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak penyelenggara pindar, terutama yang tidak terdaftar atau merupakan pinjol ilegal, menggunakan segala cara agar debitur tetap membayar, termasuk melalui ancaman hoaks.
Ridho mengingatkan bahwa jika menerima ancaman atau pesan yang mengandung unsur pencemaran nama baik, intimidasi, atau kebohongan, masyarakat dapat melaporkannya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau pihak kepolisian.
Jika terbukti dilakukan oleh penyelenggara pindar legal, OJK bisa mencabut izin operasional perusahaan tersebut.
Prosedur Hukum Gagal Bayar Pindar
Dalam kasus gagal bayar, satu-satunya jalur hukum yang bisa ditempuh oleh pihak penyedia pindar adalah mengajukan gugatan wanprestasi (ingkar janji) melalui pengadilan.
Proses ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata), yang mengatur prosedur penyelesaian sengketa perdata tanpa melibatkan tindakan represif.
"Jika kalian digugat karena wanprestasi, itu adalah hal yang wajar dalam hukum perdata. Namun, kalian tidak akan ditangkap atau dipenjara hanya karena gagal bayar pindar," ujar Ridho menenangkan.
Jangan Takut Gagal Bayar
Ridho menutup pesannya dengan memberikan semangat kepada masyarakat yang terjebak utang pindar.
Menurutnya, lebih baik menghadapi konsekuensi gagal bayar daripada terus-menerus hidup dalam tekanan finansial yang bisa merusak masa depan.
"Masa depan kalian lebih penting daripada utang pindar. Jangan sampai karena takut diancam, kalian mengorbankan kesehatan mental dan kehidupan kalian," pungkasnya.
Edukasi dan Perlindungan Konsumen
Ia mengajak masyarakat untuk aktif mencari informasi, memahami hak dan kewajiban dalam perjanjian pindar, serta berani melapor jika mendapat perlakuan yang tidak sesuai hukum.
Edukasi dan kesadaran hukum adalah kunci untuk keluar dari jerat penyedia layanan keuangan yang menjerumuskan.