Petrus Hariyanto, mantan Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD) periode 1996–2022, mengungkapkan kekecewaannya terhadap upaya ini. Ia menyebut, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional sama saja dengan melukai hati rakyat Indonesia.
"Jika Soeharto dijadikan pahlawan nasional, itu sama saja mengkhianati perjuangan demokrasi. Kekuasaan Soeharto ditopang oleh kekerasan, penindasan, dan korupsi," kata Petrus saat diwawancarai Alinea.id pada Sabtu, 26 April 2025.
Ia menambahkan, era Orde Baru yang dikomandoi oleh Soeharto merusak tatanan demokrasi dan memperkaya segelintir elit. Menurutnya, pemberian gelar ini hanya akan membangkitkan trauma kolektif terhadap rezim otoriter tersebut.
Petrus juga menyerukan gerakan konsolidasi untuk menolak keputusan ini, mengingat potensi kembalinya pola kekuasaan ala Orde Baru di bawah pemerintahan saat ini.
Analisis Yuridis: Memenuhi atau Melanggar Syarat?
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, turut memberikan pandangannya mengenai legalitas pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang mengatur syarat umum penerimaan gelar tersebut.
Pasal 25 UU tersebut mensyaratkan bahwa calon penerima gelar harus:
- Memiliki integritas moral dan keteladanan.
- Tidak pernah melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman minimal lima tahun.
- Setia kepada bangsa dan negara serta tidak mengkhianati.
Menurut Hendardi, Soeharto tidak memenuhi syarat tersebut. "Mengacu pada syarat umum, terutama poin integritas moral dan berkelakuan baik, Soeharto tidak layak menerima gelar tersebut," ujarnya pada Jumat (25/4).
Hendardi menggarisbawahi bahwa berbagai pelanggaran HAM berat, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di era Orde Baru belum pernah diadili melalui mekanisme hukum formal. Ketiadaan pertanggungjawaban hukum ini, menurutnya, menjadi alasan mendasar ketidaklayakan Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Implikasi Sosial-Politik
Selain pertimbangan yuridis, Hendardi juga mengingatkan akan dampak sosial-politik dari keputusan ini. Ia berpendapat bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan menjadi simbol legitimasi terhadap nilai-nilai otoritarianisme yang dilawan melalui gerakan reformasi 1998.
"Glorifikasi terhadap Soeharto akan merusak narasi reformasi yang selama ini dibangun untuk menegakkan supremasi sipil dan demokrasi," tegas Hendardi.
Dalam konteks sosial, keputusan ini berpotensi memperdalam luka sejarah bangsa dan membelah opini publik, terutama antara generasi reformasi dan mereka yang mengalami masa keemasan pembangunan fisik di era Orde Baru.
Baca Juga: Cerita Bunda Iffet Selamatkan Slank dari Jerat Narkoba