POSKOTA.CO.ID - Dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menganut asas desentralisasi, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, realita implementasi di lapangan acap kali menunjukkan gesekan maupun tumpang tindih wewenang antarlembaga pemerintahan.
Salah satu kasus aktual yang mencerminkan dinamika tersebut ialah gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat.
Dedi dikenal sebagai kepala daerah yang aktif turun langsung menangani berbagai persoalan di daerah. Aksi-aksi nyatanya, seperti penertiban bangunan liar di trotoar hingga pengaturan pedagang kaki lima (PKL) di wilayah kota/kabupaten, mendapat sorotan publik dan akademisi.
Apresiasi datang dari masyarakat, namun di sisi lain, kekhawatiran muncul dari para pengamat pemerintahan terkait kemungkinan melampaui batas wewenang administratifnya.
Baca Juga: Memahami Fitur Dislike di YouTube, Cara Mudah Menggunakan, dan Mengecek Jumlahnya untuk Kreator
Pendahuluan: Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Sistem otonomi daerah di Indonesia telah mengalami berbagai reformasi sejak era Reformasi 1998. Salah satu tonggak pentingnya adalah diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2014, yang mempertegas pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam konteks ini, gubernur memiliki posisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di wilayah provinsi. Ia bertanggung jawab atas koordinasi, pengawasan, dan fasilitasi pemerintahan kabupaten/kota. Namun, dalam implementasi praktisnya, masih kerap ditemukan interpretasi berbeda atas peran gubernur.
Dedi Mulyadi: Gaya Kepemimpinan Langsung
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dikenal publik sebagai sosok pemimpin yang tidak segan untuk terjun langsung menyelesaikan persoalan masyarakat.
Aksi nyatanya, seperti pengaturan ulang trotoar di Kota Bandung dan penertiban pedagang liar, kerap kali menjadi sorotan media dan mendapatkan pujian dari warganet maupun warga lokal.
Namun, tindakan tersebut justru menimbulkan perdebatan dalam konteks batas kewenangan administratif.