Politik dan Uang

Senin 19 Jun 2023, 06:59 WIB

“Jangan ajari rakyat dengan kecurangan untuk meraih kemenangan dengan membagi – bagi uang kepada para calon pemilih.Bersikaplah ksatria. Lebih baik kalah dalam kemuliaan, ketimbang menang dalam kehinaan akibat kecurangan.”
-Harmoko-
 

Politik dan uang adalah dua kata yang berbeda. Tak hanya beda makna, juga berbeda dalam fungsinya, tetapi antara keduanya seolah tidak dapat dipisahkan karena untuk berpolitik orang membutuhkan uang dan dengan uang pula orang dapat berpolitik. Namun, tidak berarti politik transaksional dijadikan pembenaran dalam meraih kemenangan.

Jual beli suara dalam pemilu, apakah pilpres, pileg maupun pilkada akan merusak tatanan demokrasi karena di dalamnya terdapat unsur pemaksaan kehendak. Membatasi ruang gerak individu dalam menentukan pilihannya.

Ini bertentangan dengan sistem proporsional daftar terbuka yang mendorong pemilih memiliki kebebasan dalam menentukan caleg yang paling mewakili aspirasinya. Bukan atas dasar iming – iming uang dan hadiah yang diberikan caleg.

Sistem proporsional terbuka sejatinya mendorong kandidat bersaing secara sehat dengan meningkatkan kualitas kampanye, serta program kerja yang ditawarkan. Selain membuka peluang adanya kedekatan antara pemilih dan kandidat dalam menyerap dan penyampaian aspirasi sehingga terdapat keterlibatan rakyat secara langsung dalam memajukan demokrasi.

Tetapi jika yang terjadi adalah persaingan tidak sehat, tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat, bukan memajukan demokrasi, tetapi merapuhkan.

Begitupun jika kedekatan antara kandidat dengan rakyat, yang dibangun dalam upaya jual beli suara, tak ubahnya mencederai sistem proporsional terbuka, sistem yang sudah dikehendaki bersama dalam pemilu 2024.

Yang harus dilakukan adalah meniadakan kelemahan proporsional terbuka seperti maraknya praktik money politics ( politik uang) dan persaingan yang hanya mengandalkan modal besar, tanpa diimbangi kemampuan.

Ini hendaknya menjadi sikap politik bagi para elite dan kader parpol serta para kandidat yang akan berlaga dalam pesta demokrasi.

Patut diingat, politik uang sering dikatakan sebagai kejahatan berat terhadap demokrasi, yang wajib diperangi oleh kita semua. Tak hanya oleh parpol sebagai kendaraan politik mengirim kadernya ke Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi semua, lembaga penyelenggara pemilu, badan pengawas pemilu dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Perlu ada komitmen yang jelas dan tegas dari parpol untuk membatalkan pencalonan kadernya yang terbukti melakukan politik uang.Tak hanya dibatalkan, juga diproses secara  hukum tanpa diskriminasi.

Patu menjadi pertimbangan untuk melibatkan masyarakat luas sebagai pengawas politik uang di semua tingkatan dan tahapan pemilu. Menggerakkan komunitas masyarakat sebagai pengawas dengan membuka “Posko pengaduan politik uang” .

Ini sekaligus untuk memberikan pendidikan politik begitu berbahayanya politik uang yang dapat merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Dapat diibaratkan, politik uang hanya memberikan kenikmatan sekali (sekali dalam 5 tahun), tetapi sakitnya berkali – kali sepanjang 5 tahun ke depan.

Politik uang berdampak cukup luas, tak hanya membuka peluang manipulasi dan korupsi, juga mendorong kian kokohnya oligarki karena pemilik modal acap ikut campur menggulirkan kebijakan yang lebih menguntungkan kelompoknya.

Terdapat sejumlah kasus calon petahana ditangkap KPK karena menerima suap. Hasil penyidikan, uang suap tersebut nantinya sebagai bekal pemilu, di antaranya untuk dibagikan kepada calon pemilihnya.

Kita tentu tak ingin, demokrasi Pancasila berkembang menjadi demokrasi transaksional dan liberal.

Mencegah  money politics, tak melulu melalui pendekatan politik dan hukum. Pendekatan sosial dan kultural perlu dilakukan dengan melibatkan forum dan komunitas warga dalam pengawasan, boleh jadi lebih efektif sebagai upaya preventif dan pre-emtif.

Efek jera, tak sepenuhnya melalui pendekatan hukum semata, lebih – lebih selama ini, meski terendus praktis politik uang, tidak pernah ada pelaku yang didiskualifikasi. Sementara, diakui politik uang adalah masalah yang berurat berakar di negeri kita dan menjadi tantangan besar dari pemilu ke pemilu.

Kejujuran menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya mencegah politik uang, utamanya dari para kandidat dan caleg yang hendak berkompetisi, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Jangan paksa rakyat terbiasa menerima suap melalui praktik jual beli suara pemilu. Jangan ajari rakyat dengan kecurangan untuk meraih kemenangan dengan membagi – bagi uang kepada para calon pemilih.

Bersikaplah ksatria. Lebih baik kalah dalam kemuliaan, ketimbang menang dalam kehinaan akibat kecurangan.

Berilah ruang agar rakyat dapat menentukan pilihan secara objektif sesuai hati nurani, siapa pasangan capres- cawapres yang mampu memajukan bangsa dan negara kita. Siapa caleg yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. (Azisoko).
 
 

News Update