Wadas yang Waras

Senin 14 Feb 2022, 07:00 WIB

Saya menyebutnya sebagai warga desa yang “cerdas” dan “waras”. Cerdas karena mampu beradaptasi dan bersahabat dengan lingkungan. Memanfaatkan sumber daya alam sebagai penghidupannya, bukan merusaknya. Itulah warga yang waras, sehat jasmani dan rohaninya.

Cukup beralasan jika ketenangan mulai terusik, jika akses hidupnya untuk nrimo ing pandum terancam, mereka menggeliat dan melawan ketika apa yang menjadi hajatnya tidak mendapat tanggapan sebagaimana diharapkan.

Interaksi yang dibangun lebih searah dengan meminta persetujuan penambangan, sementara persoalan mendasar terabaikan.

Penolakan yang sudah mencuat sejak proyek bendungan disosialisasikan tahun 2016, dianggap hanyalah sebagian kecil masyarakat. Ini yang terlihat di permukaan, sedangkan yang di dalam, tampak diam, tetapi "nggeremet” bagaikan api dalam sekam.

Indikasi sudah terlihat ketika terjadi bentrok dalam demo menolak tambang andesit, hari Jumat, 23 April 2021. Sebanyak 11 orang ditangkap, kemudian dilepaskan.

Lama tak terdengar, seolah diam dan tenang, tetapi sejatinya penolakan masih terus menggema.

Puncaknya, rising demand yang direspons dengan kehadiran ratusan, ada yang menyebut ribuan aparat kepolisian ketika mengawal 70 petugas BPN untuk melakukan pengukuran tanah, pada Selasa (8/2/2022) lalu yang berujung kepada konflik dan menjadi viral.

Masuknya puluhan aparat bersenjata lengkap ke desa saja sudah menimbulkan dampak psikologi massa, apalagi ratusan, hingga ribuan. Tak berlebihan jika dikatakan pengerahan pasukan dalam jumlah besar ini disebut intimidasi kepada warga agar menyetujui proyek penambangan. 

Untungnya insiden tersebut tidak memakan korban. Tidak seperti nasib Aldi (warga Desa Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah) yang meninggal terkena peluru Sabtu malam 12 Februari kemarin akibat menolak penambangan emas di daerahnya.

Ini bentuk pemaksaan kehendak dengan ancaman yang melanggar hak asasi manusia. Jauh dari upaya penegakan hukum yang humanis seperti selama ini didengungkan.

Dalam konflik, sebut saja tidak terjadi kekerasan fisik, tetapi penangkapan puluhan warga desa dan pengerahan aparat yang begitu besar adalah simbolik adanya kekerasan mental.

Penegakan hukum hendaknya dilakukan dengan penuh keadilan. Tak hanya dalam memberikan hak, menyikapi dan memutus perkara, juga sikap dan perilaku dalam mewujudkan keadilan hakiki pada setiap orang.

Berita Terkait

Semar Mbangun Kahyangan

Kamis 17 Feb 2022, 07:00 WIB
undefined

Maraknya Parpol Baru

Senin 07 Mar 2022, 09:49 WIB
undefined

Jangan Sekali-kali Membelokkan Sejarah

Kamis 10 Mar 2022, 07:29 WIB
undefined

Harga Melambung, Rakyat Limbung

Kamis 17 Mar 2022, 07:00 WIB
undefined

Berdikari di Bidang Ekonomi

Senin 21 Mar 2022, 07:00 WIB
undefined

News Update