Mentalitas Maling dan Mengemis

Minggu 14 Jun 2020, 06:30 WIB
Prof Amir Santoso, guru besar UI, rektor Universitas Jayabaya.

Prof Amir Santoso, guru besar UI, rektor Universitas Jayabaya.

DENGAN perasaan sedih saya terpaksa menyatakan bahwa sebagian dari kita telah memiliki kebiasaan mengambil sesuatu, bisa berbentuk barang atau yang lain, milik publik tanpa izin alias mencurinya.

Coba perhatikan apabila anda memasuki WC dan kamar mandi umum di berbagai tempat misalnya di stasiun KA, stasiun bus, pasar, dan mal, bahkan juga di gerbong KA.

Di tempat-tempat tersebut biasanya peralatan kamar mandi dan toiletnya sudah tidak lengkap lagi meskipun masih, apalagi, baru diganti dan dipasang. Pasti ada saja yang copot dan kelihatan dicopot paksa. Misalnya kran airnya, pelampung toilet, pegangan pintu dll.

Kenyataan itu sangat memprihatinkan dan saya yakin hilangnya perlengkapan tersebut memang merupakan kesengajaan, artinya dicuri.

Yang mencuri mungkin memang membutuhkan barang-barang tersebut untuk dipakai sendiri di rumahnya atau dijual. Kemungkinan besar kayaknya dijual untuk mencukupi hidupnya.

Jika ini benar maka kemiskinan di negara ini terutama di kota-besar harus diakui sebagai masih menjadi masalah besar.

Hal lain yang sering kita lihat adalah banyaknya orang yang menjadi pengemis. Bukan hanya pengemis asli yang menadahkan tangan di perempatan jalan atau di perumahan tapi juga yang menjaga toko, minimarket, mal, atau perkantoran dan yang menjadi pak ogah. Kenapa saya sebut pengemis?

Sebab setiap kali kita keluar gerbang atau memutar mobil, wajah mereka memelas dan seperti memaksa kita memberikan tips. Dan itu kan sama dengan mengemis, begitulah.

Melihat itu kita tahu memang tidak mudah mengentaskan kemiskinan. Sejak Orde Baru dulu sudah dilancarkan berbagai program pengentasan kemiskinan tapi hasilnya belum bisa dirasakan.

Malahan yang muncul adalah issue kesenjangan kaya-miskin. Si kaya yang jumlahnya sangat sedikit, menguasai kue ekonomi yang sangat besar. Sisanya yang mayoritas adalah kelompok miskin.

Kemiskinan ini ternyata melahirkan kebiasaan. Kebiasaan melahirkan mentalitas. Mentalitas yang dilahirkan ternyata juga bukan hanya mentalitas kemiskinan tapi juga hilangnya rasa malu untuk mencuri bahkan untuk menggarong. Hilangnya rasa malu menimbulkan keserakahan.

Sebab kini pencurian tidak hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar miskin dan tidak punya pekerjaan. Pencurian juga dilakukan bahkan oleh mereka yang punya pekerjaan, punya jabatan dan punya gaji serta fasilitas.

Masih bisa dipahami kalau yg mencuri itu jabatannya rendah dan gajinya sedikit. Yang menakjubkan adalah si pencuri itu bisa punya jabatan tinggi dengan gaji besar dan banyak fasilitas. Tentu saja yang dicuri bukan lagi peralatan kamar mandi tapi duit milyaran bahkan trilyunan.

Memang sering kita jengkel melihat peralatan di kereta api, bus, mall dll itu hilang, Tapi kalau melihat korupsi trilyunan rupiah yang dilakukan beberapa pejabat dan pengusaha kaya raya, kita bisa maklum jika pencurian juga dilakukan oleh pejabat rendahan apalagi oleh yang benar-benar miskin meskipun prilaku semua mereka itu salah.

Dengan demikian kita berpikir mungkin orang kecil itu mencuri karena melihat orang besar pun mencuri, jadi kenapa mereka tidak dibolehkan meniru?

 Artinya mentalitas mencuri dan mengemis itu melahirkan peniruan alias imitasi dari si miskin dan si kecil terhadap si besar dan si kaya. Sedangkan si kaya dan yang punya jabatan itu mencuri bukan karena kebutuhan tetapi karena keserakahan.

Karena itu sekarang kita paham mengapa banyak perusahaan asing memindahkan lokasi usahanya ke negara tetangga kita. Alasan mereka karena di sini perizinannya sangat rumit. Mengapa rumit?

Ya karena banyak sogok sana sini. Sogok itu bagian dari mentalitas mengemis dan dilakukan tanpa rasa malu, Juga dilakukan karena keserakahan.

Jadi ketika kemiskinan ini tidak diberantas secara serius melalui berbagai program termasuk memberikan gaji dan yang cukup maka mentalitas mencuri, mengemis, hilang rasa malu dan serakah akan terus berlanjut dan merusak nama baik bangsa dan negara kita di mata internasional. (Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)

News Update