Apa yang Kita Lakukan

Senin 04 Mei 2020, 05:25 WIB

Oleh Harmoko

"MARI kita masing-masing bertanya, bukan hanya apa yang akan dilakukan pemerintah untuk saya, tetapi apa yang dapat saya lakukan untuk diri saya sendiri." Ini pertanyaan yang pernah dilontarkan Richard Nixon, presiden ke-37 AS. Pertanyaan ini masih cukup relevan, lebih-lebih di tengah pandemi global Covid-19 saat ini, "apa yang dapat kita lakukan, minimal bagi diri sendiri"

Kegiatan yang bersifat kemanusiaan sangat relevan untuk saat sekarang. Di sinilah dibutuhkan adanya kepekaan sosial karena telah teruji dapat meringankan beban bagi mereka yang tertimpa musibah.

Uluran tangan sangat dibutuhkan untuk meringankan derita, setidaknya mengurangi trauma.

Saling membantu, saling berbagi  saling menolong adalah kodrati manusia sebagai makhluk sosial.

Kita tentu sangat mengapresiasi begitu besar semangat sikap saling peduli untuk saling berbagi.

Banyak kelompok masyarakat, paguyuban dan komunitas yang bergerak cepat melakukan beragam aktivitas melawan Covid-19.

Itulah sejatinya kepekaan sosial yang dimiliki masyarakat kita, yang sudah tumbuh subur sejak dulu kala melalui kegiatan saling tolong menolong, dalam bentuk gotong royong yang diajarkan para leluhur kita.

Kegiatan kemanusiaan seperti inilah yang kemudian dikristalisasi oleh para pendiri negeri dalam falsafah bangsa sebagai pedoman hidup.

Dalam pepatah Jawa dikenal " Sepi ing pamrih, rame ing gawe" artinya tidak berharap pamrih (pengharapan/ penghargaan), meski ramai dalam pekerjaan/ kegiatan. 

Arti  yang tersirat adalah anjuran agar setiap orang yang hendak menolong orang lain, lakukanlah dengan ikhlas tanpa berharap apa pun baik berupa pujian, sanjungan, pengakuan, imbalan materi atau balas jasa.

Tak berlebihan sekiranya dikatakan negeri kita kuat menghadapi bencana karena memang melekat jati diri bangsa tadi.

Telah teruji, memiliki kepekaan sosial yang tinggi tak sekadar membuat kita menjadi lebih baik, tetapi mendorong kita menjadi manusia seutuhnya.

Yang perlu diedukasi adalah menjadi  manusia yang memiliki empati dan peduli terhadap orang lain, bukan karena berharap simpati. Mau peduli, bukan karena ingin dipedulikan. Rela kerja ikhlas tanpa berharap balas (imbalan). Membantu lingkungan bukan berharap pengakuan, tetapi lebih karena kesadaran diri. Itulah sejatinya kepekaan sosial.

Itulah sebabnya kepekaan sosial perlu dilatih, diedukasi dan ditanamkan sejak dini. Kepekaan sosial tidak bisa dipaksakan, tidak pula dipaksa datang tiba-tiba, tetapi perlu dibentuk melalui karakter sejak masa kanak-kanak melalui pengenalan diri bagaimana indahnya saling berbagi.

Mengedukasi begitu banyak manfaat yang didapat ketika kita masih bisa saling berbagi.

Membuka diri kepada lingkungan sekitar untuk senantiasa bersedia kerja sama, menolong orang yang kesusahan adalah bagian dari upaya membentuk kepekaan sosial.

Anak muda zaman sekarang sejatinya memiliki sikap peduli yang sangat tinggi kepada lingkungannya, kelompoknya, dan komunitasnya.

Ini yang perlu didorong melalui keteladanan terutama dari mereka yang selama ini kerap menyuarakan kebersamaan dan nilai- nilai kemanusian. Secara lebih luas para tokoh masyarakat, pejabat di semua tingkatan.

Ingat! Anak muda era sekarang lebih membutuhkan model (contoh), ketimbang wacana tanpa aksi nyata. Lebih membutuhkan keteladanan, ketimbang pernyataan. Lebih membutuhkan bukti nyata, ketimbang propaganda dan retorika.

Mari kita berbuat. Sekecil apa pun perbuatan itu diberikan akan lebih baik ketimbang sama sekali tidak berbuat.

Para filsuf berpesan "Selama kamu masih berdiri, ulurkan tanganmu pada orang-orang yang telah jatuh."

Selama masih bisa membantu, bantulah orang lain yang memang sedang membutuhkan uluran tangan. (*)

News Update