Kondisi tersebut mencerminkan dampak kelebihan kapasitas yang memicu perang harga selama tiga tahun terakhir, sekaligus menekan margin keuntungan produsen.
Di sisi lain, investasi besar-besaran di bidang riset dan pengembangan demi mengejar keunggulan teknologi justru semakin membebani neraca keuangan banyak pemain EV.
Saat ini, hanya segelintir produsen seperti BYD dan Seres yang didukung Huawei yang tercatat mampu mencetak keuntungan.
Baca Juga: Debut Global Belum Lama, Honda WN7 Langsung Jadi Motor Polisi
“Euforia penggalangan dana yang dulu mengelilingi produsen mobil listrik China dan pemasok komponen otomotif utama kini sudah menjadi sejarah. Ini akan menjadi permainan bertahan hidup, di mana pabrikan yang mampu meraih keuntungan akan menjadi pemenang, sementara para pemain yang merugi terancam segera kehabisan dana,” kata investor asal Shanghai, Yin Ran.
Untuk menjaga profitabilitas, produsen EV China diperkirakan akan semakin agresif menggarap pasar ekspor serta meluncurkan model khusus untuk konsumen global.
Produksi kendaraan China diproyeksikan mencapai 33 juta unit pada 2025, sementara kapasitas terpasang mendekati 50 juta unit.
Rata-rata margin bersih per kendaraan di pasar domestik saat ini hanya sekitar 5.000 yuan atau Rp12 juta. Namun margin tersebut bisa meningkat hingga empat kali lipat, mencapai 20.000 yuan atau sekitar Rp47 juta, jika kendaraan diekspor ke luar negeri.
Stephen Dyer dari AlixPartners memperkirakan hanya sekitar 10 persen merek EV China yang mampu mencatatkan keuntungan dalam lima tahun mendatang.
Baca Juga: Auto2000 Hadirkan Posko Siaga 24 Jam, Kawal Perjalanan Nataru Pengguna Toyota
Perang harga yang masih berlangsung diyakini akan mempercepat konsolidasi industri, terutama bagi produsen dengan penjualan di bawah 1.000 unit per bulan.
Laporan China EV100 bahkan menyebut lima hingga enam perusahaan patungan China–asing dengan penjualan tahunan di bawah 100.000 unit berpotensi menghadapi likuidasi dalam beberapa tahun ke depan.
