Ekonomika Pancasila: Ekonomi Minus Kemakmuran

Rabu 24 Des 2025, 07:56 WIB
Opini Ekonomika Pancasila oleh Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre). (Sumber: Poskota)

Opini Ekonomika Pancasila oleh Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre). (Sumber: Poskota)

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)

Paradox ekonomi. Banjir barang mentah, tapi miskin hilirisasi. Banyak komoditas, tapi defisit tabungan. Tanah digali, gunung digunduli, hutan ditebangi, tapi APBN tak pernah surplus.

Di banyak kampus, sudah banyak sekali ilmuwan berkata "kita tidak tahu ke mana negara ini mengarah." Sebab, apa acuannya makin tidak konsisten. Jika acuannya pasar, kita hanya pasar segmented. Jika acuannya konstitusi, kita hanya mengkhianati.

Jika acuannya klasik (PDB, Rasio Gini, Pertumbuhan, Kemajuan dan Utang), praktis angka-angkanya tidak mengorgasmekan. Apa sesungguhnya yang dipakai elite hari ini dalam "mengelola pemerintahan" dan menjalankan "mandat kemenangan pemilu"? Satu-satunya jawaban yang pas adalah "indeks kekuasaan diri dan segmentasinya."

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Kutukan Kapitalisme

Dengan indeks itu, praktis semua sesat pikir, perbuatan setan, buta-tuli-bisu nasib warganegara, terjelaskan dengan sendirinya. Sebab seluruh hal-ikhwal perbuatannya ternyata hanya untuk diri dan kelompoknya saja.

Maka, ilustrasi yang meminjam tulisan Khalil Gibran (Turki: 1912) menjadi relevan bahkan penting. "Betapa kasihan, bangsa yang mengenakan pakaian tetapi tidak ditenunnya sendiri; memakan roti dari gandum yang tidak ia panen sendiri, dan meminum susu yang ia tidak memerasnya sendiri."

Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah. Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat senjata kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan, tidak sesumbar kecuali di reruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal plus tukang contek.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Kemiskinan yang Dipelihara


Berita Terkait


News Update