Nasib Hidup Hanya Menyisakan Kepasrahan, Ini Kisah Pedagang Kecil Usai Penertiban TPU Kober

Kamis 18 Des 2025, 14:43 WIB
Ilustrasi dagangan warga di TPU Kober, Jatinegara, Jakarta Timur usai dilakukan pembongkaran mandiri, Kamis, 18 Desember 2025. (Sumber: Poskota/M. Tegar Jihad)

Ilustrasi dagangan warga di TPU Kober, Jatinegara, Jakarta Timur usai dilakukan pembongkaran mandiri, Kamis, 18 Desember 2025. (Sumber: Poskota/M. Tegar Jihad)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kober Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur, terasa lebih hening dari biasanya. Tidak ada lagi suara penggorengan mendesis, tak terdengar teriakan pedagang menawarkan kopi panas atau gorengan. 

Di antara deretan nisan dan tanah makam yang lembap, hanya tersisa puing lapak, papan kayu, serta kenangan tentang perjuangan hidup warga kecil yang selama puluhan tahun menggantungkan nasib di tempat itu.

Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur mulai merapikan lapak-lapak usaha warga yang berdiri di area TPU Kober. Penataan ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi lahan pemakaman yang selama ini beralih menjadi ruang usaha. 

Tak ada penolakan dan kericuhan, hanya ada kepasrahan dan cerita tentang hidup yang kembali harus dimulai dari nol.

Baca Juga: Pemkab Bogor Siapkan 316 Titik PJU di Jalan Bomang, 63 Telah Terpasang

Edeh, 60 tahun berdiri di depan bekas lapaknya yang kini tinggal tanah kosong. Perempuan asal Cianjur itu telah 25 tahun berjualan di TPU Kober mulai dari goreng ayam, tahu, tempe, hingga sayur sop sederhana, ia mencukupi kebutuhan hidup anak dan cucunya

“Penggusuran ini sudah tahu dari pemerintah. Sudah tiga kali sosialisasi. Kita juga sudah dipanggil ke kecamatan,” ucap Edeh kepada Poskota, Kamis 18 Desember 2025.

Edeh sadar betul, tempatnya berdagang memang bukan haknya. TPU adalah tempat peristirahatan terakhir, bukan ruang usaha.  Karena itu, begitu kabar penertiban semakin jelas, Edeh memilih membongkar lapaknya sendiri.

“Sudah seminggu nggak jualan. Pas tahu ada penggusuran, kita bongkar-bongkaran. Kita nggak mau berantem sama yang punya kuburan,” ujar Edeh. 

Baca Juga: Rencana Pemekaran Wilayah Kabupaten Bogor Barat, Bupati Ajak Masyarakat Bersatu

Penghasilan Edeh sehari tak seberapa. Dari modal sekitar Rp100 ribu, keuntungan bersihnya paling banyak Rp150 ribu. Kadang hanya mendapat Rp125 ribu.

“Itu pun jika dagangan laku, yang penting cukup makan aja buat anak cucu,” kata Edeh.

Namun sejak berhenti berdagang, hidup Edeh makin berat. Untuk bertahan, ia terpaksa menjual dua ekor kambing miliknya, satu-satunya aset yang ia simpan sebagai pegangan hidup.

Keputusannya menjual aset satu-satunya tersebut agar tidak meminjam uang hingga memiliki utang.

Baca Juga: 1.000 Nelayan Ikut Apel Kamtibmas di Kepulauan Seribu

“Daripada pinjam, saya nggak pernah utang bank,” ucapnya. 

Kisah serupa dialami Hayati 50 tahun, pedagang kopi dan mi instan yang telah lama tinggal di kawasan TPU Kober tersebut.  Perempuan Betawi asli itu mengaku memilih berhenti berdagang lebih awal karena rasa takut.

“Kita sudah nggak dagang, takut tiba-tiba didatengin. Karena kan salah, kalau nggak salah mah kita nggak takut,” kata Hayati.

Lapaknya dulu menjadi tempat singgah para peziarah. Secangkir kopi panas atau semangkuk mie instan sering menemani mereka setelah berdoa. Kini, lapak itu sudah rata dengan tanah.

Baca Juga: Titik Lokasi Operasi Lilin Nataru 2025/2026 di Jakarta, Cek Jadwalnya di Sini

Hayati telah berdagang sejak anaknya masih kecil dan hampir 25 tahun ia mencari nafkah di tempat pemakaman umum. Bahkan, jika dihitung sejak ia tinggal di kawasan tersebut, sudah lebih dari 50 tahun hidupnya melekat dengan TPU Kober.

“Umur saya udah 50 tahun, yang diingat ya 50 tahun di sini,” ujarnya.

Kini, Hayati hanya mengandalkan penghasilan anaknya yang bekerja sebagai office boy. Delapan orang dalam satu rumah yang terdiri anak, cucu, dan orang tua harus bertahan dari satu gaji bulanan.

Ia pun mengungkapkan jika pendapatan dari anaknya memang tak cukup, sehingga ia harus gali lubang-tutup lubang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Baca Juga: Tergelincir saat Berkendara, Pemotor 21 Tahun Tewas Tertabrak Minitrans di Jaksel

“Ya dicukup-cukupin. Kadang pinjam dulu, nanti habis bulan diganti. Gali lubang tutup lubang. Kalau nggak gitu, ya nggak makan. Anak masih sekolah, ada yang SD, ada yang SMP," tuturnya.

Dia pun berharap, agar pemerintah dapat memberikan tempat berdagang yang layak bagi dirinya. 

“Pengennya sih UMKM. Tapi dari dulu cuma janji. Katanya mau didaftarin, tahunya nggak ada,” ungkap Hayati.

Lebih lanjut, Muhammad Yusuf menyebutkan sedikitnya lima warung di wilayahnya terdampak penertiban. Bahkan, dirinya juga termasuk korban dari penertiban lapak usaha tersebut. 

Baca Juga: Polisi Gadungan Tipu Wanita Muda di Pondok Gede Bekasi

Yusuf saat itu berjualan makanan cepat saji seperti sosis hingga otak-otak dan mengaku sudah tidak berjualan dari seminggu lalu. 

“Pas Covid kita nggak ada usaha. Akhirnya dagang kecil-kecilan. Alhamdulillah bisa bertahan. Kalau warga mau makan atau minum tapi belum punya uang, bisa ngutang dulu,” ujarnya.

Kini Yusuf menarik ojek online untuk menyambung hidup keluarganya. Aktivitasnya tersebut harus dilakukan agar bisa menutupi kebutuhan sehari-hari.

Kegelisahan lain muncul dari Yusuf, yakni perihal kamar mandi umum yang selama ini digunakan warga. Kamar mandi tersebut berdiri di atas lahan pemakaman yang terancam dibongkar.

Baca Juga: Jelang Nataru, Harga Cabai Rawit hingga Ayam Bertambah Mahal

“Kalau kamar mandi dibongkar, kita bingung. Rumah kecil-kecil. Mau bangun kamar mandi di mana?” katanya.

Saat ini, warga masih bisa menggunakannya. Namun ancaman pembongkaran membuat mereka hidup dalam ketidakpastian.

"Yah berharap sih jangan di bongkar kamar mandi itu," tutur Yusuf.

Semua pedagang mengaku telah menerima surat peringatan hingga SP3. Tak ada yang menolak, mereka sadar jika aturan harus ditegakkan dan TPU harus kembali pada fungsinya.

Di TPU Kober, ketertiban kini kembali tercipta. Tak ada lagi lapak, tak ada lagi keramaian. Hanya sunyi dan doa. 

Namun di balik kesunyian itu, tersimpan kisah tentang manusia-manusia kecil yang pernah bertahan hidup di antara nisan, menggoreng harapan, menyeduh kopi, dan mencari nafkah dengan cara paling sederhana. (cr-4). 


Berita Terkait


News Update