POSKOTA.CO.ID - Bencana banjir dan tanah longsor besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra pada periode November 2025 tidak hanya meninggalkan duka dan kehancuran infrastruktur, tetapi juga lubang raksasa pada perekonomian.
Laporan terbaru dari lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) membeberkan angka kerugian ekonomi yang fantastis: Rp68,67 triliun.
Angka ini bukan sekadar statistik. Ia merupakan akumulasi dari penderitaan langsung masyarakat: ribuan rumah rusak, pendapatan keluarga hilang, lahan pertanian terendam, serta tersendatnya distribusi barang hingga terhentinya aktivitas industri.
Lebih dari itu, angka tersebut menjadi bukti yang menohok tentang ketimpangan serius dalam tata kelola lingkungan dan industri ekstraktif di Indonesia.
Baca Juga: Imbas Bencana Alam di Sumatra, Harga Jeruk Medan Melonjak
Kerugian dan Kontribusi: Ketimpangan yang Mencolok
Analisis Celios menunjukkan ironi pahit. Kerugian nasional sebesar Rp68,6 triliun itu jauh melampaui total penerimaan negara dari sektor tambang (Penjualan Hasil Tambang/PHT) yang hingga Oktober 2025 tercatat Rp16,6 triliun.
Di level provinsi, ketimpangan terlihat lebih jelas. Aceh, misalnya, diproyeksikan menderita kerugian hingga Rp2,04 triliun.
Jumlah ini berkali-kali lipat lebih besar daripada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tambang di provinsi tersebut yang hanya Rp929 miliar (per Agustus 2025), atau Dana Bagi Hasil (DBH) dari sawit dan minerba yang hanya mencapai puluhan miliar rupiah.
Perbandingan ini bukan sekadar angka. Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab: jika kerusakan ekologis turut memperparah bencana, siapa yang harus memikul tanggung jawab terbesar: negara atau korporasi?
Baca Juga: Bantuan Rp66 Miliar Digelontorkan, Kemensos Pastikan Logistik Banjir Sumatra Tetap Aman
Akar Masalah: Lebih dari Sekadar Hujan
Para analis sepakat, bencana ini bukan semata-mata takdir cuaca ekstrem. Curah hujan tinggi hanyalah pemicu.
