Faktor pendorong utama justru adalah kerusakan lingkungan sistematis:
- Degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS),
- Deforestasi masif,
- Ekspansi tambang dan perkebunan sawit yang mengubah bentang alam.
Aktivitas ini menghilangkan kemampuan tanah menyerap air, mempercepat aliran permukaan, dan meningkatkan kerentanan longsor.
Di banyak wilayah Sumatra, peta konsesi tambang dan perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dan resapan air telah lama menjadi catatan kelam.
Ketika tragedi terjadi, masyarakat kecil yang menanggung akibatnya. Sementara, kontribusi ekonomi dari sektor pengubah bentang alam tersebut tidak pernah sebanding dengan biaya pemulihan yang kini harus ditanggung negara.
Desakan Perubahan
Menanggapi temuan ini, sejumlah pakar hukum lingkungan dan lembaga masyarakat sipil mendesak langkah-langkah konkret:
- Moratorium Total: Penghentian pemberian izin baru untuk tambang dan perluasan perkebunan sawit di kawasan rawan bencana.
- Evaluasi Menyeluruh: Peninjauan ulang seluruh izin operasi yang telah terbit, khususnya di daerah dengan daya dukung lingkungan kritis.
- Penegakan Prinsip "Polluters Pay": Korporasi yang aktivitasnya terbukti memperparah dampak bencana wajib memberikan kontribusi finansial nyata untuk pemulihan lingkungan dan rehabilitasi sosial-ekonomi masyarakat terdampak.
- Rehabilitasi Ekosistem: Pemulihan DAS dan rehabilitasi hutan harus menjadi program prioritas yang diimplementasikan secara serius, bukan sekadar wacana.
Baca Juga: Peduli Bencana Sumatra, Penyandang Disabilitas Donasi Rp201 Juta
Namun, tantangan terbesar justru ada pada level kebijakan. Kompleksitas tata ruang, lemahnya pengawasan, dan penerbitan izin yang abai terhadap aspek ekologis dinilai sebagai akar masalah yang menyebabkan beban bencana selalu jatuh ke pundak negara dan rakyat.
Di balik angka triliunan rupiah, terdapat ribuan cerita pilu yang tak terhitung. Rumah yang hancur, mata pencaharian yang lenyap, serta trauma yang tertinggal. Kerugian negara mungkin suatu saat bisa dipulihkan, tetapi kehilangan yang dirasakan masyarakat seringkali bersifat permanen.
Kasus banjir Sumatra ini menjadi bukti tak terbantahkan, biaya kerusakan lingkungan jauh lebih mahal daripada keuntungan ekonomi jangka pendek.
Laporan Celios bukan lagi alarm, melainkan sirene keras yang menandai bahwa Indonesia tidak bisa lagi menunda pembenahan fundamental dalam tata kelola sumber daya alam.
Tanpa langkah tegas dan perubahan paradigma dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi berkelanjutan dan restoratif, bencana ekologis serupa hanya tinggal menunggu waktu.
