Sesungguhnya, inilah alarm dari peristiwa vivere pericoloso (zaman penting dan genting) karena kehidupan negara Indonesia mestinya berjalan ke arah lebih baik, lebih manusiawi, lebih adil, lebih sentosa, lebih spiritualis.
Dalam logika peningkatan kapasitas kenegaraan inilah, menyadarkan rakyat untuk kritis dan melawan agar haknya tak dirampas menjadi keniscayaan.
Tentu, agar cita-cita proklamasi makin nyata dalam kenegaraan kita. Tentu, agar menjadi kebaikan dan keindahan bersama serta menyemesta.
Tentu saja agar kita bisa hidup dalam negara tanpa duabelas kerusakan: Tanpa Korupsi, Tanpa Kolusi, Tanpa Nepotisme, Tanpa Kemiskinan, Tanpa Kesenjangan, Tanpa Kesakitan, Tanpa Amoralisme, Tanpa Kebodohan, Tanpa Penjajahan, Tanpa Kerakusan, Tanpa Pengkhianatan, dan Tanpa Penipuan.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Perekonomian Utang
Diam dan "pasrahnya" rakyat pada problema yang dihadapi sangat mungkin karena kita semua mengidap penyakit mental kolonial warisal kolonial purba yang dilanggengkan neokolonial.
Mental ini menghasilkan cultural poverty (kemiskinan kultural), academic poverty (kemiskinan akademis), moral poverty (kemiskinan moral) serta absolute poverty (kemiskinan absolut). Dalam rangkaian kemiskinan itulah, yang tersisa hanya pasrah atau ikut serta dalam barisan kejahatan.
Pada hari-hari penuh cerita derita ini, kaum muda jeniuslah yang harus bertanggungjawab dalam mengemban amanah keilmuannya.
Untuk bangkit dan menggerakan. Melawan segala macam bentuk penjajahan yang tak berprikemanusiaan dan berprikeadilan. Tetapi, di manakah mereka kini? Aku terus mencarinya di setiap tempat dan waktu walau belum bertemu.
Saat bersamaan, mereka harus mulai mereformasi komunitas sekolah, kurikulum dan sekitarnya untuk menyemai dan menetaskan agensi dan barisan agar tumbuh membesar menjadi patriot negara-bangsa Indonesia.
Menjadi pembelanya. Tentunya berdasarkan potensi tatanan hidup yang ada; lokal jenius dan subtansi modernitas.
Pada komunitas epistemik itu diperhitungkan juga budaya, ekologi, nilai perlambang, kecerdasan silam dan semiotika lainnya.
