Heboh Meme Bahlil, GPA dan Underbow Golkar Laporkan Puluhan Akun Medsos ke Polisi

Kamis 23 Okt 2025, 19:10 WIB
GPA dan relawan Golkar laporkan puluhan akun medsos penyebar meme Bahlil ke polisi. Mereka menegaskan bahwa penghinaan personal bukanlah bentuk kritik yang sehat dalam demokrasi. (Sumber: Instagram/@bahlillahadalia)

GPA dan relawan Golkar laporkan puluhan akun medsos penyebar meme Bahlil ke polisi. Mereka menegaskan bahwa penghinaan personal bukanlah bentuk kritik yang sehat dalam demokrasi. (Sumber: Instagram/@bahlillahadalia)

Wakil Ketua Umum DPP AMPI, Steven Izaac Risakotta, menyatakan sedikitnya 30 akun medsos telah diadukan. "Kami selaku kader merasa terpanggil. Konten-konten ini sudah tidak bisa kita toleransi," ujarnya di Gedung Bareskrim, Senin, 20 Oktober 2025.

Sementara itu, Ketua Umum Pilar 08, Kanisius Karyadi, mengklaim adanya pola terorganisir. Pihaknya mengadukan lima akun spesifik, menuduhnya sebagai bagian dari kampanye "pembunuhan karakter" yang masif. Mereka mendesak polisi untuk menindak tidak hanya para buzzer, tetapi juga aktor intelektual dan pemodal di baliknya.

Efek Streisand dan Tantangan Penegakan Hukum

Ironisnya, upaya penertiban melalui jalur hukum justru menuai efek sebaliknya. Ancaman UU ITE tidak serta-merta meredam sebaran meme.

Sebaliknya, fenomena "efek Streisand" tampak jelas: larangan justru memicu rasa penasaran dan perlawanan, membuat konten yang dilarang justru semakin viral.

Komentar warganet, "Semakin dilarang semakin menjadi," menjadi gambaran sempurna resistensi ini. Situasi ini menempatkan aparat penegak hukum pada posisi sulit: menindak tegas bisa dianggap membatasi kebebasan, namun membiarkan bisa ditafsirkan sebagai pembiaran terhadap "vandalisme digital".

Baca Juga: Sebut Ada Dinamika di Partai Golkar, Bahlil Lahadalia Singgung soal 'Gerakan Tambahan'

Polemik meme Bahlil telah membuka kembali luka lama mengenai polarisasi ruang digital Indonesia. Di atas meja, kini terbentang dua persoalan besar: pertama, kebutuhan mendesak untuk membangun konsensus nasional tentang batasan berekspresi yang beretika.

Kedua, tantangan penegakan hukum yang bijaksana, yang mampu membedakan antara kritik sosial yang satire dengan kampanye kebencian yang destruktif.

Masa depan ruang publik digital kita akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita, sebagai bangsa, menjawab tantangan ini: apakah dengan saling menjerat pasal hukum, atau dengan duduk bersama merajut etika baru yang lahir dari kesadaran, bukan dari paksaan.


Berita Terkait


News Update