"Termasuk fasilitas MCK dan ruang komunal, melalui kolaborasi dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP)," ujarnya.
Tak hanya itu, Chico menyampaikan, DPRKP menyiapkan relokasi bertahap 300 keluarga dari RW 12 ke rusun baru di Johar Baru atau Jagakarsa.
"Dimulai kuartal IV 2025, dengan subsidi sewa Rp500.000/unit/bulan melalui program Samawa DPRKP," ungkapnya.
Dalam laporannya, DPRKP mencatat 445 RW kumuh di DKI, termasuk Tanah Tinggi, yang dievaluasi ulang akhir tahun ini untuk intervensi prioritas.
Berdampak Pada Kesehatan Mental
Sementara itu, pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menyampaikan, fakta adanya keluarga yang tinggal berdesakan di satu rumah hingga harus gantian tidur, bukan hal baru dan mencerminkan masalah struktural serius dalam tata ruang maupun perumahan warga miskin kota.
Menurut Yayat, di sejumlah kawasan padat penduduk di Jakarta, satu rumah dengan ukuran sempit bisa dihuni hingga 20 orang, sehingga ruang istirahat menjadi sangat terbatas. Akibatnya, penghuni rumah harus tidur secara bergantian dalam tiga waktu atau sif.
Baca Juga: Potret Ketimpangan Sosial di Jakarta, Warga Tanah Tinggi Harus Tidur 'Sif-sifan' karena Rumah Sempit
"Apa dampaknya terkait dengan tidur sif-sifan? Biasanya dalam tidur sif-sifan ini yang terganggu adalah kesehatan mental," ucap Yayat kepada Poskota, Minggu 12 Oktober 2025.
Menurut Yayat, tidur bergantian bukan hanya persoalan ruang, tetapi berdampak langsung terhadap kesehatan fisik dan mental penghuninya.
Ia menjelaskan, kualitas tidur yang buruk dan jam tidur yang tidak mencukupi bisa memicu stres, penurunan daya tahan tubuh, dan gangguan hormon.
"Dan biasanya dengan masalah yang seperti ini, efek sampingnya ya itu tadi, bisa membuat kualitas kesehatan mentalnya turun, kesehatan fisiknya turun. Dan berujung pada kondisi emosionalnya," ungkap dia.
Kondisi tersebut, dikatakan Yayat, turut menghambat perkembangan pendidikan dan kecerdasan anak-anak. Mereka kesulitan belajar karena tidak memiliki ruang dan waktu yang tenang.