Baru Lulus Udah Mau Jadi Pembisnis? Ini Pandangan Dokter Tirta soal Kunci Sukses dan Stabilitas Finansial untuk Kaum Gen Z

Sabtu 11 Okt 2025, 09:40 WIB
Pandangan dr. Tirta tentang pentingnya financial stability bagi generasi muda: dari idealisme menuju realitas ekonomi yang berkelanjutan. (Sumber: Youtube/@MALAKA)

Pandangan dr. Tirta tentang pentingnya financial stability bagi generasi muda: dari idealisme menuju realitas ekonomi yang berkelanjutan. (Sumber: Youtube/@MALAKA)

POSKOTA.CO.ID - Dalam dekade terakhir, seminar motivasi menjamur di berbagai kota besar Indonesia. Namun, fenomena ini kini mulai bergeser.

Banyak kalangan muda menyadari bahwa motivasi tanpa strategi konkret tidak cukup untuk membangun kehidupan finansial yang stabil. Salah satu tokoh yang menyoroti perubahan paradigma ini adalah dr. Tirta Mandira Hudhi, atau yang dikenal dengan dr. Tirta Citot seorang dokter, pengusaha, sekaligus pengajar di Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB.

DIlansir dari Youtube @Malaka, melalui refleksi perjalanan pribadinya, Tirta membagikan pandangan kritis tentang makna kesuksesan dan pentingnya kestabilan finansial (financial stability) dibanding sekadar “kesuksesan” yang bersifat subjektif.

Baca Juga: Ternyata Ini Salah Satu Penyebab Utama Burnout pada ASN yang Sering Diabaikan

Dari Panggung Motivasi ke Kelas Finansial

Sejak 2014, dr. Tirta aktif mengisi berbagai seminar motivasi. Namun, pada 2022, pandangannya berubah drastis. Ia mengaku mulai merasa tidak nyaman dengan pola “motivasi tanpa substansi”. Baginya, terlalu banyak seminar yang hanya menyulut semangat sesaat tanpa memberi solusi nyata.

“Saya dulu butuh validasi bahwa saya harus dianggap pintar. Tapi sejak kuliah lagi di 2022, saya malu share seminar motivasi. Sekarang saya lebih fokus mengajari cara menjadi financial stable,” ujar dr. Tirta.

Transformasi tersebut bukan tanpa alasan. Menurutnya, stabilitas finansial tidak dapat dicapai dengan sekadar mendengarkan motivator.

Ia menegaskan bahwa proses menuju kestabilan finansial adalah perjalanan panjang yang melibatkan pemahaman mendalam tentang uang, pekerjaan, dan nilai hidup.

Makna Sukses: Subjektif dan Kontekstual

Dalam pandangan dr. Tirta, kesuksesan bersifat subjektif. Seseorang bisa disebut sukses secara spiritual, kesehatan, maupun karier. Namun, di negara seperti Indonesia di mana sistem sosial dan ekonomi masih belum sepenuhnya merata idealisme sering kali berbenturan dengan realitas.

“Anda boleh idealis kalau sudah tidak miskin,” ujarnya dengan tegas.

"Di negara seperti Finlandia atau Swiss, idealisme bisa tumbuh karena jaring sosialnya kuat. Tapi di Indonesia, realitas ekonomi memaksa kita berpikir pragmatis.”

Artinya, kesuksesan finansial bukan hanya soal kaya raya, melainkan tentang mencapai keseimbangan ekonomi pribadi agar seseorang tidak bergantung secara berlebihan pada pihak lain.

Financial Stability: Tujuan yang Lebih Realistis

Menurut Tirta, istilah financial stability lebih relevan bagi generasi muda saat ini. Ia menggambarkan kondisi ini sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, memiliki tabungan darurat, dan mampu bertahan dari guncangan ekonomi tanpa kehilangan arah.

Dalam konteks ini, mahasiswa tingkat akhir (semester 6–7) menjadi kelompok yang paling krusial. Banyak dari mereka berada di fase bingung antara melanjutkan studi, bekerja, atau berbisnis.

“Saya sering bilang ke mahasiswa: kalau sudah hampir lulus dan bingung mau ngapain, fokuslah dulu pada kestabilan finansial, bukan gelar CEO di bio Instagram,” jelasnya.

Menyoal Tren “Ingin Jadi Pengusaha”

Salah satu isu menarik yang diangkat oleh dr. Tirta adalah romantisasi profesi pengusaha. Banyak anak muda yang ingin berbisnis bukan karena passion, tapi karena terobsesi pada status sosial.

“Kalau alasanmu jadi pengusaha cuma biar bisa tulis CEO di bio Instagram, kamu salah besar,” katanya.

Tirta menegaskan bahwa dunia usaha penuh ketidakpastian (uncertainty). Seorang pengusaha sejati harus siap menghadapi fluktuasi pendapatan, tekanan pasar, hingga risiko gagal total. Ia juga menepis mitos “modal dengkul” yang sering dijadikan inspirasi oleh motivator generasi lama.

“Empat puluh tahun lalu, modal dengkul mungkin masih bisa. Sekarang? Sulit. Ekosistem bisnis sudah berubah total,” jelasnya.

Pentingnya Pengalaman di Usia 20–25 Tahun

Bagi Tirta, usia 20–25 tahun bukan waktu untuk mengejar kekayaan instan, tetapi fase untuk mengumpulkan pengalaman (experience). Pengalaman kerja, relasi profesional, hingga kegagalan adalah fondasi penting dalam membangun karakter dan kecerdasan finansial.

“Yang paling penting di usia 20–25 itu pengalaman. Dari mana pun — kerja, magang, atau kolaborasi,” ujarnya.

Dengan pengalaman yang cukup, seseorang bisa memahami realita bisnis, pola kerja, serta manajemen keuangan pribadi secara lebih matang.

Baca Juga: Nomor HP Kamu Terpilih? Buruan Klaim Saldo DANA Gratis Rp185.000 Hari Ini ke Dompet Elektronik

Menghadapi Realitas: Bukan Sekadar Idealisme

Dalam pesan akhirnya, dr. Tirta mengingatkan bahwa idealisme tanpa kemampuan ekonomi ibarat kapal tanpa jangkar. Ia mendorong generasi muda untuk berpikir realistis namun tetap bermakna, yakni bekerja keras, mengasah keahlian, dan belajar dari kegagalan.

“Motivasi itu bagus, tapi harus diimbangi dengan aksi nyata dan strategi finansial,” tegasnya.

Ia pun menekankan bahwa pendidikan formal tidak boleh diremehkan. Banyak orang yang menganggap sekolah tidak penting, padahal kemampuan berpikir kritis dan logis justru dibentuk di sana.

Perjalanan dr. Tirta mencerminkan perubahan paradigma penting dalam kehidupan profesional dan finansial generasi muda. Dari sekadar mencari pengakuan lewat seminar motivasi, ia kini mengajak banyak orang untuk bertransformasi menjadi individu yang mandiri secara ekonomi dan berpikir kritis dalam mencapai stabilitas finansial.

Dengan memahami bahwa kesuksesan bersifat subjektif dan tidak semua orang perlu menjadi pengusaha, generasi muda diharapkan lebih siap menghadapi tantangan dunia nyata dengan pondasi finansial yang kuat, bukan sekadar semangat sesaat.


Berita Terkait


News Update