Namun, kontradiksi muncul: PT Praba Indopersada pada saat itu tidak memiliki kapasitas teknis yang memadai untuk menyelesaikan proyek pembangkit listrik skala besar. Meski begitu, perjanjian tetap dijalankan secara internal dalam konsorsium.
Penandatanganan Kontrak & Kinerja Proyek
Kontrak resmi ditandatangani pada 11 Juni 2009, antara FM (Direktur Utama PLN) dan RR (Direktur Utama PT BRN). Namun pada akhir durasi kontrak 28 Februari 2012, pekerjaan baru selesai sekitar 57 persen.
Karena progres yang lambat, pihak proyek melakukan sepuluh kali amandemen kontrak, hingga amandemen terakhir menetapkan batas penyelesaian proyek pada 31 Desember 2018. Namun, hingga tahun tersebut, proyek tetap tidak selesai.
Fakta menunjukkan bahwa proyek secara praktis telah berhenti sejak tahun 2016, dengan realisasi pekerjaan mencapai 85,56 persen. Di sisi lain, pembayaran telah dilakukan oleh PLN (perusahaan listrik negara) sebesar Rp 323 miliar dan USD 62,4 juta kepada konsorsium. Totok menegaskan bahwa pembayaran tersebut telah dianggap sebagai kerugian negara atau “total loss” menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kerugian Negara & Landasan Hukum
BPK menetapkan bahwa total pembayaran yang telah diterima konsorsium dan subkontraktor dalam proyek PLTU 1 Kalbar adalah kerugian negara (total loss). Artinya, negara tidak memperoleh manfaat sepadan dengan pengeluaran yang dilakukan.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 (sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.
- Pasal 2 ayat (1): menyebut ketentuan tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
- Pasal 3: berkaitan dengan perbuatan memberikan keuntungan bagi orang lain atau korporasi secara melawan hukum.
- Pasal 55 ayat (1) KUHP: mengenai unsur turut serta atau membantu dalam tindak pidana.
Penetapan pasal-pasal ini menunjukkan bahwa penyidik meyakini adanya unsur pengaturan, tindakan bersama (konspirasi), dan pelanggaran sistemik dalam proyek tersebut.
Profil Singkat & Relevansi Halim Kalla
Salah satu individu yang tercuat dalam pemberitaan terkait kasus ini adalah Halim Kalla, yang memiliki profil bisnis dan politik paling dikenal di antara para pihak. Meskipun dalam penetapan tersangka dikaitkan, perlu dicermati bahwa penetapan belum tentu berarti terbukti bersalah dalam proses persidangan.
Berikut profil ringkas Halim Kalla:
- Tempat / Tanggal Lahir: Ujung Pandang, 1 Oktober 1957
- Alamat: Jl. Lembang No. 9 RT/RW 006/005, Menteng, Jakarta Pusat
- Jenis Kelamin: Laki-laki
- Agama: Islam
- Status Perkawinan: Kawin
- Jumlah Anak: Dua
- Pekerjaan: Direktur Utama Intim Wira Energi; Direktur PT BRN
- Pendidikan Terakhir: State University of New York at Buffalo, AS
Secara bisnis, Halim Kalla dikenal sebagai pengusaha visioner yang pernah memperkenalkan Digital Cinema System (DCS) di Indonesia pada 2006.
Ia juga memiliki kiprah di sektor kendaraan listrik lewat perusahaannya, Haka Auto, yang mengembangkan prototipe kendaraan listrik bernama Smuth, Erolis, dan Trolis.
Halim Kalla juga pernah menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009–2014 dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II. Di ranah masyarakat, kehadirannya dalam kasus ini menjadikan perhatian publik lebih besar karena nama dan latar belakangnya yang cukup dikenal.