Baca Juga: Kopi Pagi: Jujurlah Koreksi Diri
Masalah yang muncul di antaranya, yaitu tingginya biaya politik, kerumitan sistem, serta suburnya budaya pragmatisme. Belum lagi, kian maraknya politik uang, hingga suara rakyat seolah tergadaikan hingga aspirasi pun terabaikan. Pengawasan dan kontrol sosial menjadi lemah, padahal dalam demokrasi, sistem checks and balance sangatlah penting, tak hanya dari wakil rakyat, juga pelibatan rakyat secara langsung.
Yang menjadi persoalan, sejauh mana fungsi pengawasan dijalankan secara jujur, adil dan transparan serta bertanggung jawab. Begitu juga pihak yang diawasi.
Semua masukan dan pengaduan dari masyarakat hendaknya direspons dengan tanpa melihat dari siapa, oleh siapa dan dari kubu mana. Terbuka juga dalam menyampaikan informasi terkait penyelesaian pengaduan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Sikap terbuka, jujur dan adil perlu lebih dikedepankan pada saat ini di semua lembaga, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Pada saat yang sama dituntut integritas moral para elite politik. Elite yang dipilih rakyat hendaknya wajib memiliki kesadaran etik dan tanggung jawab politik yang tinggi.
Mandat rakyat dengan segala aspirasi dan kepentingannya harus menyatu dalam jiwa, pikiran, sikap, dan tindakannya senantiasa bermuruah negarawan. Ketika merancang dan mengambil keputusan politik, yang menjadi patokan adalah kepentingan rakyat, bukan pihak lain. Bila ingin membangun legasi politik pun harus demi rakyat, bukan untuk kemegahan diri dan kerabat.
Baca Juga: Kopi Pagi: Jejak Kesakralan Istana Cipanas
Ketika suara rakyat diwakilkan dan dimandatkan kepada elite sebagai aktor dalam institusi pemerintahan negara. Logika dasar demokrasi meniscayakan suara elite politik itu sama sebangun dengan kehendak rakyat.
Patut menjadi renungan bersama, apakah elite di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga lain dalam dirinya menjelma kehendak rakyat? Bukan kehendak dirinya, apalagi kehendak pihak lain yang merugikan rakyat?
Disahkannya sejumlah kebijakan maupun undang-undang yang ditentang dan merugikan rakyat menunjukkan bukti suara dan kehendak rakyat dicederai serta disalahgunakan oleh para wakil dan mandataris rakyat. Terlebih jika hidup rakyat dibuat merana oleh para mandataris dan wakilnya.
Rakyat yang terepresentasi dalam kelompok buruh atau pekerja, petani, nelayan, mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, kelompok marginal, dan mayoritas yang dikenal wong cilik kadang terabaikan dan menjadi korban kebijakan dan perundang-undangan.
Melalui peringatan Hari Demokrasi Internasional hendaknya menjadi momentum bagi elite politik dan pejabat publik baik di pusat maupun daerah, kian melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan politik. Ini hendaknya menjadi arah membangun demokrasi kita ke depan, termasuk ketika membentuk paket undang – undang politik. Peristiwa yang tengah terjadi di Nepal bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.