Lebih jauh, Vanenburg menyoroti akar masalah yang menurutnya berasal dari minimnya menit bermain para pemain di klub masing-masing.
Menurutnya kondisi fisik yang tidak optimal adalah konsekuensi langsung dari kurangnya kesempatan tampil secara reguler di kompetisi domestik.
"Kami sudah berusaha menciptakan banyak peluang, tetapi pemain kehilangan ketajaman karena tidak mendapat jam terbang cukup di klubnya. Hal ini berimbas pada kondisi fisik yang tidak bisa maksimal," tegas Vanenburg.
Baca Juga: Erick Thohir Rancang Strategi Baru Usai Timnas Indonesia Gagal ke Piala Asia U-23
Pernyataan ini menjadi kritik tajam bagi klub-klub di Indonesia yang dianggap kurang memberikan kesempatan bagi pemain muda untuk berkembang.
Vanenburg menekankan perlunya solusi jangka panjang agar kualitas Timnas U-23 tidak kembali terhambat pada ajang internasional.
Sementara itu, Korea Selatan dikenal memiliki sistem pembinaan yang konsisten, dengan kompetisi domestik yang memberi ruang besar bagi pemain muda untuk berkembang.
Hal ini terlihat jelas pada laga kontra Indonesia, di mana para pemain Taeguk Warrior tampil dominan secara fisik hingga menit akhir.
Perbedaan ini memperlihatkan tantangan besar yang harus segera dibenahi oleh Indonesia, terutama dalam hal sinkronisasi program pembinaan klub dengan kebutuhan Timnas.
Meskipun gagal lolos, pengalaman bertemu Korea Selatan di kualifikasi Piala Asia U-23 diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi Garuda Muda.
Vanenburg menilai, dengan pembenahan menyeluruh di level klub, Timnas Indonesia memiliki potensi besar untuk bersaing di masa depan.
"Perlu ada komitmen bersama agar pemain muda mendapat menit bermain lebih banyak. Hanya dengan cara itu kita bisa meningkatkan daya saing di level Asia," ujar Vanenburg.