Keberanian ini tidak datang tanpa konsekuensi. Ia sempat menjadi target serangan, bahkan pernah ditabrak kendaraan hingga kakinya buntung. Peristiwa itu menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi di Indonesia sudah memiliki sejarah panjang—dan juga penuh risiko.
Perspektif manusia yang bisa kita tarik dari kisah ini adalah bahwa keberanian sejati sering kali menuntut pengorbanan personal. Raden Gatot tidak hanya menegakkan hukum dengan kata-kata, tetapi dengan tubuhnya sendiri ia menanggung konsekuensi.
Akhir Hayat dan Pemindahan Makam
Raden Gatot wafat pada 24 Desember 1971 dan awalnya dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Tebet, Jakarta Selatan. Namun pada 25 November 2021, jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pusara Adhyaksa di Pondok Rajeg, Cibinong, sesuai kesepakatan keluarga.
Kini, dengan resmi bergantinya nama makam tersebut menjadi Taman Makam Pusara Raden Gatot Taroenamihardja, penghormatan kepada jasanya terasa lebih lengkap.
Baca Juga: Jadwal Pekan Keempat BRI Super League 2025/2025: Persija vs Dewa United
Mengapa Penamaan Ini Penting?
Bagi sebagian orang, pergantian nama jalan atau makam mungkin sekadar simbol. Namun, jika ditelisik lebih dalam, penamaan ini merupakan bentuk pendidikan sejarah yang hidup di ruang publik.
Dengan setiap orang yang melintasi Jalan Raden Gatot Taroenamihardja, atau keluarga yang berziarah ke Taman Makam yang kini menyandang namanya, akan ada momen pengingat tentang sosok yang rela berkorban demi hukum dan keadilan.
Di tengah kondisi hukum Indonesia saat ini, di mana isu korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih marak, penamaan ini menjadi refleksi: pernah ada seorang Jaksa Agung yang begitu berani, dan seharusnya semangat itu bisa dihidupkan kembali.
Kisah Raden Gatot Taroenamihardja adalah pengingat bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang otomatis terwujud. Ia harus diperjuangkan, sering kali dengan harga yang sangat mahal.
Generasi muda yang tumbuh di era digital mungkin tidak lagi akrab dengan nama-nama tokoh awal penegakan hukum Indonesia. Namun melalui langkah sederhana seperti penamaan jalan dan makam, warisan mereka tetap bisa tersampaikan lintas generasi.
Sebagai masyarakat, kita juga diajak untuk tidak hanya mengenang, tetapi meneladani. Jika Raden Gatot berani melawan korupsi di masa ketika Indonesia masih rapuh sebagai negara muda, bukankah generasi sekarang seharusnya lebih mampu melanjutkan perjuangan itu dengan dukungan sistem yang lebih kuat?
Pergantian nama Taman Makam Pusara dan Jalan di Bogor menjadi Raden Gatot Taroenamihardja bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari pengingat kolektif. Bahwa hukum pernah memiliki panglima sejati yang berani melawan arus kepentingan demi tegaknya keadilan.