Jika dicermati, isu yang diangkat media asing sebenarnya lebih dari sekadar angka tunjangan. Sorotan mereka menyingkap jurang sosial yang kian melebar antara elit politik dengan rakyat.
Bagi mahasiswa, aksi turun ke jalan adalah ekspresi frustasi terhadap kebijakan yang dianggap tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial. Sementara bagi pengemudi ojol, tunjangan DPR menjadi simbol ketidakadilan karena mereka harus berjuang keras untuk sekadar memenuhi kebutuhan harian.
Kebijakan ini juga berpotensi memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap DPR RI. Alih-alih berfokus pada legislasi yang menyentuh kebutuhan rakyat, DPR justru dinilai sibuk memperjuangkan kepentingan pribadi.
Demo 25 Agustus 2025 bukan hanya peristiwa lokal, melainkan juga cermin bagi dunia tentang dinamika politik Indonesia. Media internasional menyoroti persoalan ini karena mencerminkan kontradiksi universal ketika wakil rakyat hidup berlimpah fasilitas, sementara rakyat yang mereka wakili masih terhimpit masalah ekonomi.
Apakah aksi ini akan membawa perubahan nyata? Jawabannya masih bergantung pada sejauh mana DPR dan pemerintah mendengarkan suara publik. Namun, satu hal yang pasti demo ini meninggalkan pesan moral bahwa legitimasi politik tidak hanya dibangun di ruang sidang parlemen, melainkan juga di hati rakyat yang merasa didengar dan diperjuangkan.