Elit kepemimpinan kita defisit cinta republik. Mereka kini tak punya sense of belonging pada nasionalisme. Uripe kagak urup. Padahal, cinta itu kemulian. Oleh karena cinta, seseorang akan melakukan aktivitas yang baik, inovatif dan ikhlas agar mereka bahagia bersama. Dengan bahagia, mereka mencapai derajat mulia. Kemuliaan itu sinonim sorga.
Mereka yang tak punya cinta pada republik tak akan punya sikap rela berkorban membela negeri tercinta. Padahal, berkorban bagi bangsa, negara dan sesama itu adalah tindakan terpuji. Bagi semua warga negara yang baik, sikap itu merupakan keharusan, sehingga NKRI ini bisa berkembang dan pastinya tetap terjaga keutuhannya. Rela berkorban berarti bersedia dengan ikhlas memberikan yang terbaik apa yang dimiliki kepada bangsa dan negara. Bukan sebaliknya: KKN demi diri dan keturunannya.
Orang yang rela berkorban pastilah punya visi besar. Dan, pemimpin bervisi besar pasti tahu bahwa Indonesia kaya modal sosial yang bisa menjadi bekal dalam menghadapi gelombang tantangan. Ini kolateral terbesar kita. Ini asuransi terdahsyat bangsa Indonesia.
Ia tahu bahwa tradisi dan rasa saling percaya, kuatnya jaringan sosial, serta hubungan baik antar warganegara, merupakan modal sosial yang dapat menopang perjalanan bangsa menjadi mercusuar dunia. Jika semua hal di atas ditopang dengan kepemimpinan yang jenius, crank dan menyempal dari arus utama, modal sosial itu dapat menjadi kekuatan dahsyat untuk mengungkit bangsa dari berbagai tekanan dan krisis serta invasi yang akan terus dikirimkan para penjajah. Ayok kita realitaskan. (*)