POSKOTA.CO.ID - Mendekati perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025, media sosial Indonesia justru dihebohkan dengan sebuah fenomena visual yang tak biasa berkibarnya bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece di berbagai kendaraan umum, mulai dari truk pengangkut barang hingga motor bak terbuka.
Foto dan video bendera berlogo tengkorak tersenyum ini tersebar masif di TikTok, Instagram, hingga Twitter (X). Namun, yang menjadikan tren ini lebih dari sekadar viral adalah narasi sosial dan interpretasi budaya yang mengiringinya.
Baca Juga: Obrolan Warteg: BUMD Bakal Naik Kelas, BUMN?
Bendera One Piece: Simbol Bajak Laut atau Kritik Sosial?
Secara permukaan, bendera One Piece adalah lambang kelompok bajak laut dalam serial manga dan anime karya Eiichiro Oda. Namun, jika ditelaah lebih dalam, Topi Jerami dan kru-nya tak selalu digambarkan sebagai penjahat, melainkan tokoh yang melawan ketidakadilan sistemik di dunia fiktif mereka.
Seorang warganet dengan akun @c77roalves menuliskan refleksi mendalam:
“Di dunia One Piece, para bajak laut bukan sekadar penjahat. Banyak dari mereka justru jadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, tirani, dan kekuasaan yang sewenang-wenang... Mungkin itulah kenapa sekarang banyak rakyat Indonesia yang ‘mengibarkan’ bendera One Piece.”
Narasi ini menjadi cerminan dari keresahan sosial, di mana simbol dari fiksi bisa menjadi bentuk ekspresi atas kondisi nyata yang dirasakan sebagian masyarakat: ketidakpuasan terhadap sistem, birokrasi, atau struktur kekuasaan.
Antara Ekspresi Budaya dan Kekhawatiran Publik
Namun, tak semua menyambut tren ini dengan antusias. Beberapa netizen mengungkapkan kekhawatiran bahwa pengibaran bendera anime dalam momen sakral kenegaraan bisa menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan mendapat respons represif.
@Rudeboy menulis:
“Please jangan lakuin, gue cuma takut di-notice pemerintah. Nanti One Piece malah diblokir sama Kominfo kayak Anoboy.”
Komentar ini mencerminkan kecemasan kolektif masyarakat digital, yang menyadari betapa tipisnya batas antara kebebasan berekspresi dan risiko sensor di era digital saat ini.