3 Contoh Studi Kasus PPG 2025 untuk Guru SD-SMA Batas 500 Kata

Minggu 27 Jul 2025, 12:00 WIB
Ilustrasi PPG Calon Guru 2025. (Sumber: Kemendikdasmen)

Ilustrasi PPG Calon Guru 2025. (Sumber: Kemendikdasmen)

POSKOTA.CO.ID - Studi kasus adalah tahapan penting dalam proses Pendidikan Profesi Guru (PPG) 2025. Guru diminta untuk menuliskan pengalaman nyata yang pernah dihadapi selama mengajar di kelas.

Untuk penulisan studi kasus biasanya dibatasi maksimal 500 kata. Dalam hal ini, guru bisa menunjukkan kemampuannya dalam mengindentifikasi, menangani, dan merefleksikan permasalahan di kelas.

Berikut ini adalah contoh studi kasus PPG 2025 yang sudah disesuaikan dengan batas 500 kata yang mencakup jenjang SD hingga SMA.

Contoh Studi Kasus PPG 2025

  1. Menghadapi Siswa yang Melanggar Aturan Sekolah - Sebuah Pembelajaran tentang Pendekatan Humanis

Sebagai guru SMP, saya pernah menghadapi seorang siswa bernama A yang beberapa kali melanggar aturan sekolah. Ia sering datang terlambat, mengenakan atribut yang tidak sesuai peraturan, dan pernah kedapatan membolos dari salah satu mata pelajaran. Kejadian ini tentu saja menjadi perhatian, bukan hanya karena pelanggarannya, tapi juga karena ia berpengaruh terhadap teman-temannya.

Awalnya, saya menegur secara langsung dan melaporkannya kepada wali kelas serta guru BK. Namun, pendekatan disiplin formal semata tidak cukup efektif. Siswa A tetap menunjukkan perilaku yang sama dalam beberapa minggu berikutnya. Saya mulai menyadari bahwa perlu pendekatan lain yang lebih menyentuh aspek emosional dan sosialnya.

Saya pun memutuskan untuk berbicara secara pribadi dengan A di luar jam pelajaran. Saya menghindari nada menghakimi dan lebih memilih mendengarkan. Dari perbincangan tersebut, saya mengetahui bahwa A merasa kurang diperhatikan di rumah karena orang tuanya sibuk bekerja. Ia mengaku sering merasa kesepian dan mengaku tidak tahu harus menyalurkan energinya ke mana.

Setelah memahami latar belakangnya, saya dan guru BK mengajaknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater sekolah. Kami pikir ini bisa menjadi ruang aman bagi A untuk mengekspresikan diri secara positif. Saya juga memberinya tanggung jawab kecil di kelas, seperti menjadi ketua kelompok diskusi, agar ia merasa dipercaya dan dibutuhkan.

Perubahan tidak terjadi seketika, tetapi dalam dua bulan, A mulai menunjukkan sikap lebih positif. Ia lebih disiplin, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan pelanggaran yang sebelumnya dilakukan perlahan-lahan tidak terulang. Ia bahkan mulai menyemangati teman-temannya agar tidak melanggar aturan sekolah.

Pengalaman ini memberi pelajaran penting bagi saya bahwa siswa yang melanggar aturan belum tentu "anak nakal", melainkan mungkin sedang berjuang dengan masalah pribadi yang belum terungkap. Pendekatan manusiawi, empatik, dan solutif sering kali lebih efektif dibanding sekadar hukuman administratif.

Saya belajar bahwa sebagai guru, tugas kita bukan hanya mendidik secara akademik, tapi juga memahami dinamika psikologis siswa. Dengan pendekatan yang tepat, pelanggaran bisa menjadi titik balik tumbuhnya kesadaran dan perubahan positif pada diri siswa.

  1. Menghadapi Siswa SD yang Kesulitan Beradaptasi: Refleksi Guru Kelas

Sebagai guru kelas IV SD, saya pernah menghadapi seorang siswa pindahan dari luar kota yang mengalami kesulitan beradaptasi di lingkungan sekolah baru. Selama dua minggu pertama, ia tampak pendiam, enggan bergaul dengan teman-temannya, dan sering menyendiri saat jam istirahat. Di kelas, ia hanya menjawab pertanyaan bila ditunjuk, itu pun dengan suara pelan dan pandangan tertunduk.

Situasi ini membuat saya khawatir. Saya khawatir ia akan semakin tertinggal baik secara akademik maupun sosial. Oleh karena itu, saya mulai mencari tahu lebih banyak melalui wali kelas sebelumnya dan berkoordinasi dengan orang tuanya. Ternyata, siswa tersebut belum pernah berpindah sekolah sebelumnya dan memiliki karakter introvert yang kuat. Ia merasa tidak nyaman dengan perubahan lingkungan dan pola pembelajaran yang berbeda dari sekolah lamanya.

Sebagai langkah awal, saya melakukan pendekatan secara personal. Setiap pagi, saya menyambutnya dengan sapaan ramah dan sedikit obrolan ringan. Di dalam kelas, saya secara sengaja menempatkannya di kelompok belajar yang terdiri dari siswa-siswa yang kooperatif dan suportif. Saya juga memberinya peran ringan dalam kegiatan kelas, seperti membagikan buku atau membantu merapikan alat tulis, untuk menumbuhkan rasa percaya diri.

Saya juga melibatkan teman-teman sekelas dalam membantunya beradaptasi. Saya meminta beberapa siswa untuk menjadi "teman pendamping" yang mengajaknya bermain saat istirahat dan membantunya saat ada kesulitan. Di sisi lain, saya menghindari memberikan tekanan atau tuntutan berlebihan yang bisa membuatnya semakin cemas.

Perlahan-lahan, saya mulai melihat perubahan. Ia mulai tersenyum saat disapa, lebih aktif dalam diskusi kelompok, dan sesekali mengangkat tangan saat ada pertanyaan. Dalam waktu kurang lebih satu bulan, ia sudah bisa berinteraksi lebih nyaman dan menunjukkan peningkatan dalam tugas-tugas sekolahnya.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa tidak semua anak bisa langsung menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Butuh pendekatan yang sabar, empati, dan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga menciptakan ruang yang aman dan ramah agar setiap siswa bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya.

  1. Menghadapi Siswa Pendiam di Kelas - Pengalaman Mengajar di SMA

Sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA negeri, saya pernah menghadapi tantangan saat membimbing seorang siswa kelas X, sebut saja namanya Reyhan. Sejak awal semester, Reyhan tampak sangat tertutup. Ia selalu duduk di pojok belakang, jarang terlibat dalam diskusi kelas, bahkan tidak pernah bertanya ataupun mengungkapkan pendapatnya ketika diberi kesempatan.

Awalnya saya berpikir mungkin Reyhan belum beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Namun setelah beberapa bulan, sikapnya tetap sama. Ia hanya berbicara seperlunya, tampak tidak percaya diri, dan sering menghindari kontak mata saat diajak bicara. Hal ini tentu menjadi tantangan, apalagi pelajaran Bahasa Indonesia menuntut siswa untuk aktif berdiskusi, mengemukakan pendapat, serta berlatih berbicara di depan umum.

Saya mulai melakukan observasi dan menggali informasi dari wali kelas serta guru BK. Dari hasil diskusi, diketahui bahwa Reyhan berasal dari keluarga sederhana dan pernah mengalami perundungan saat di jenjang SMP. Hal tersebut memengaruhi kepercayaan dirinya, membuatnya menarik diri dari lingkungan sosial.

Untuk mengatasi hal ini, saya mengambil beberapa langkah. Pertama, saya coba membangun kepercayaan Reyhan secara personal. Saya ajak dia berdiskusi ringan di luar jam pelajaran, bukan soal pelajaran, melainkan tentang hal-hal yang ia sukai. Ternyata Reyhan menyukai musik instrumental dan suka menulis lirik lagu.

Mengetahui hal ini, saya mulai melibatkan Reyhan secara tidak langsung dalam pembelajaran. Misalnya, ketika membahas puisi atau cerpen, saya izinkan dia memilih karya sendiri dan menyampaikan hasilnya melalui tulisan, bukan lisan. Untuk tugas presentasi kelompok, saya beri peran yang sesuai seperti menjadi penata materi atau visual, agar dia tetap terlibat namun tidak merasa terpaksa tampil di depan umum.

Perlahan-lahan Reyhan menunjukkan perubahan. Ia mulai aktif mengumpulkan tugas tepat waktu, mengobrol dengan beberapa teman, dan sesekali bertanya saat pelajaran berlangsung. Di akhir semester, ia bahkan memberanikan diri membaca puisi ciptaannya saat ada kegiatan kelas. Meskipun suaranya pelan, seluruh kelas memberi tepuk tangan - momen yang sangat emosional dan membahagiakan bagi saya sebagai gurunya.

Pengalaman ini memberikan pelajaran penting bahwa setiap siswa memiliki cara tumbuh yang berbeda. Peran guru bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga menjadi jembatan agar siswa merasa aman untuk berkembang. Kesabaran, empati, dan pendekatan yang disesuaikan dengan karakter siswa sangat dibutuhkan untuk menggali potensi mereka yang tersembunyi.


Berita Terkait


News Update