POSKOTA.CO.ID - Studi kasus adalah tahapan penting dalam proses Pendidikan Profesi Guru (PPG) 2025. Guru diminta untuk menuliskan pengalaman nyata yang pernah dihadapi selama mengajar di kelas.
Untuk penulisan studi kasus biasanya dibatasi maksimal 500 kata. Dalam hal ini, guru bisa menunjukkan kemampuannya dalam mengindentifikasi, menangani, dan merefleksikan permasalahan di kelas.
Berikut ini adalah contoh studi kasus PPG 2025 yang sudah disesuaikan dengan batas 500 kata yang mencakup jenjang SD hingga SMA.
Contoh Studi Kasus PPG 2025
- Menghadapi Siswa yang Melanggar Aturan Sekolah - Sebuah Pembelajaran tentang Pendekatan Humanis
Sebagai guru SMP, saya pernah menghadapi seorang siswa bernama A yang beberapa kali melanggar aturan sekolah. Ia sering datang terlambat, mengenakan atribut yang tidak sesuai peraturan, dan pernah kedapatan membolos dari salah satu mata pelajaran. Kejadian ini tentu saja menjadi perhatian, bukan hanya karena pelanggarannya, tapi juga karena ia berpengaruh terhadap teman-temannya.
Awalnya, saya menegur secara langsung dan melaporkannya kepada wali kelas serta guru BK. Namun, pendekatan disiplin formal semata tidak cukup efektif. Siswa A tetap menunjukkan perilaku yang sama dalam beberapa minggu berikutnya. Saya mulai menyadari bahwa perlu pendekatan lain yang lebih menyentuh aspek emosional dan sosialnya.
Saya pun memutuskan untuk berbicara secara pribadi dengan A di luar jam pelajaran. Saya menghindari nada menghakimi dan lebih memilih mendengarkan. Dari perbincangan tersebut, saya mengetahui bahwa A merasa kurang diperhatikan di rumah karena orang tuanya sibuk bekerja. Ia mengaku sering merasa kesepian dan mengaku tidak tahu harus menyalurkan energinya ke mana.
Setelah memahami latar belakangnya, saya dan guru BK mengajaknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater sekolah. Kami pikir ini bisa menjadi ruang aman bagi A untuk mengekspresikan diri secara positif. Saya juga memberinya tanggung jawab kecil di kelas, seperti menjadi ketua kelompok diskusi, agar ia merasa dipercaya dan dibutuhkan.
Perubahan tidak terjadi seketika, tetapi dalam dua bulan, A mulai menunjukkan sikap lebih positif. Ia lebih disiplin, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan pelanggaran yang sebelumnya dilakukan perlahan-lahan tidak terulang. Ia bahkan mulai menyemangati teman-temannya agar tidak melanggar aturan sekolah.
Pengalaman ini memberi pelajaran penting bagi saya bahwa siswa yang melanggar aturan belum tentu "anak nakal", melainkan mungkin sedang berjuang dengan masalah pribadi yang belum terungkap. Pendekatan manusiawi, empatik, dan solutif sering kali lebih efektif dibanding sekadar hukuman administratif.
Saya belajar bahwa sebagai guru, tugas kita bukan hanya mendidik secara akademik, tapi juga memahami dinamika psikologis siswa. Dengan pendekatan yang tepat, pelanggaran bisa menjadi titik balik tumbuhnya kesadaran dan perubahan positif pada diri siswa.
- Menghadapi Siswa SD yang Kesulitan Beradaptasi: Refleksi Guru Kelas
Sebagai guru kelas IV SD, saya pernah menghadapi seorang siswa pindahan dari luar kota yang mengalami kesulitan beradaptasi di lingkungan sekolah baru. Selama dua minggu pertama, ia tampak pendiam, enggan bergaul dengan teman-temannya, dan sering menyendiri saat jam istirahat. Di kelas, ia hanya menjawab pertanyaan bila ditunjuk, itu pun dengan suara pelan dan pandangan tertunduk.